Sabtu, 16 Mei 2020

Kontribusi Muslimah Milennial Menjaga Negeri


Kontribusi Muslimah Millennial Menjaga Negeri

Berbicara masalah kontribusi terhadap Negara, tentu tidak ada habisnya. Semua anak bangsa dituntut untuk berpartisipasi  di segala bidang, demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Tua, muda,  remaja, bahkan sosok yang penulis istilahkan dengan Muslimah Millenial pun demikian.

Seperti apa Muslimah millennial berkontribusi akan menjadi pembahasan tulisan ini. namun sebelum itu, perlu diketahui lebih detail Istilah Muslimah millennial dan Negara, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh, atas judul materi “kontribusi muslimah millennial menjaga negeri.”

Muslimah dalam artian yang dikenal publik merupakan sebutan untuk perempuan yang meyakini Islam sebagai agamanya. Di luar dari definisi perempuan dengan berbagai atribut dan karakteristik yang ada padanya, manusia yang melahirkan, menstruasi, hamil, menyusui, (KBBI). Muslimah berarti erat kaitannya dengan perempuan Islam, yang konsekuensinya harus menjalankan apa yang kemudian agama ini gariskan.

Ada banyak konsekuensi yang harus dijalani ketika menjadi penganut Islam. Secara umum, umat Islam diperintahkan untuk beribadah kepada Allah swt. sebagaimana firman Allah swt;
“Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya`budun”,  tidak aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah. (QS. Az- Zariyat, 56) Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menafsirkan ayat ini, bahwa Jin dan manusia diciptakan untuk beribadah dan mengenal Allah swt, lebih jauh ia mendatangkan pendapat Mujahid, perintah ibadah sebagai kontiunitas dalam mengingat Allah (zikr). Sementara itu mufassir kenamaan Indonesia, Muhammad Quraish Shihab, dalam berbagai kesempatan menjelaskan bahwa ibadah tidak hanya mengenai ritual shalat, puasa, haji, tetapi juga segala aktifitas kebaikan yang diniatkan kepada Allah swt.
Dalam ayat yang lain, manusia di muka bumi ini, diciptakan Tuhan sebagai Khalifah, seperti disebutkan pada ayat ke 30 dari Surah Al-Baqarah. Hamka menyodorkan beragam arti khalifah pada kitab taffsirnya, Al-Azhar. Ia menekan kemana pun kita cenderung dalam menafsirkan khalifah, yang perlu ditekankan, bahwa manusia diberikan kedudukan penting di muka bumi, demikian jangan disia-siakan.

Makna lain yang universal disampaikan M. Quraish Shihab, khalifah dalam artianya memastikan sesuatu berjalan sesuai dengan tabiatnya. Penulis pahami sebagai tugas khalifah dalam memastikan berjalan, tumbuh, dan kembangnnya segala sesuatu yang diamanahkan kepadanya di muka bumi. 

Dalam sumber hukum primer Islam yang lain, hadis-hadis nabi, menyebutkan bagaimana seorang muslim dan muslimah diwajibkan untuk menuntut ilmu, dalam hadis terkenal disebutkan “menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslimin dan muslimat”.

Lebih spesifik kalau merujuk kepada organisasi Nahdlatul Wathan, organisasi tempat teman-teman himmawan dan himmawati bernaung, memiliki tujuan “li i`lai kalimatillah izzul islam wal muslimin”.

Dari berbagai tujuan sebagai konsekuensi menganut Islam dan menjadi bagian organisasi Nahdlatul Wathan, itu memerlukan sebuah wadah untuk mengimplementasikan peribadatan kepada Allah swt, melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi, menjalankan kewajiban menuntut ilmu, dan menjalankan tugas organisasi.

Nah, apa yang menjadi wadah keberislaman dan  kenahdlatul wathanan? Tidak lain itulah Negara, dalam ruang  kita sekarang, Indonesia. Negara sendiri dalam beberapa literatur dasar menjelaskan memiliki beberapa elemen, adanya wilayah, adanya rakyat, dan adanya kekuasaan atau penguasa yang mengatur, guna menjalani kehidupan bersama, sesuai dengan cita-cita dan tujuan banga.

Di dalam sebuah Negara, ada hak dan kewajiban yang dilekatkan kepada rakyat yang menghuninya. Ketika setiap muslim yang diberikan hak untuk menjalankan berbagai aktifitas keberislamannya, maka mereka juga memiliki kewajiban terhadap Negara, dalam tataran umum, menjaga eksistensi Negara.

Pertanyaannya, bagaimana kemudian bisa menjalankan keberislaman dan kenahdlatul wathanan tersebut, jika wadah sebagai pusat implementasi tersebut tidak aman, kacau, tidak ada persatuan. Bagaimana rasanya shalat di tengah peperangan,  menuntut ilmu saat badai pertentangan dan pertengkaran berkecamuk?  Keadaan Negara-negara luar seperti Suriah, Irak, Yaman, sudah cukup menjadi contoh, betapa pentingnya menjaga kemanan Negara. Agar tetap aman dan khusyu’ menjalankan  keberislaman dan kenahdlatul wathanan.

Apalagi keadaan Negara kita yang sangat multikultural, ada banyak faktor yang kalau tidak kuat dijaga akan mudah meretas integrasi yang dibangun sejak lama. Sejarah telah banyak mengajarkan bagaimana konflik antara orang Madura dan Kalimantan, konflik di poso, konflik di Maluku.

Tentu, kita tidak ingin konflik tersebut dan hal menyeramkan di atas yang menimpa Negara-negara lua, menimpa Negara kebanggaan, Indonesia. Namun, rupanya-rupanya ada satu hal menarik di era ini, yang jika tidak diseriusi bisa membawa Negara kepada kekacauan.

Ini sejalan dengan terma yang ingin saya jelaskan, “Millenial”. Dalam salah satu artikel di blog pribadi, saya menjelaskan beberapa makna singkat millennial, yakni generasi yang lahir mulai 1983-2004, ada juga yang menyebut mulai 1980-2000. Namun ada satu pengertian yang menarik, bahwa millennial adalah kehidupan generasi yang tidak bisa lepas dari  informasi, terutama internet. (Infakmillenial/ahmedsaleem926.blogspot.com)

Tepat sekali dengan masa hidup kita ini, Era ini disebut dengan era millennial, dengan sokongan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih, membuat disrupsi informasi dari berbagai penjuru membanjiri  gawai-gawai canggih kita.  Di satu sisi, ada dampak positif, di sisi lain, dampak negatifnya mulai merongrong kondusifitas Negara.

Jika melihat data terbaru, dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 272 juta Indonesia, sekitar 64 persen sudah mendapatkan akses internet dan 160 juta pengguna aktif di media sosial. Jika merujuk data ini tidak dipungkiri apa yang viral dan di sosial media, memengaruhi kehidupan bangsa.

Sementara informasi-informasi dengan berbagai bentuk, artikel, video, gambar, meme, dengan latah kita serap dan anggap semuanya benar. Padahal, banyak hoax, fitnah, hate speech, hate spin, yang beredar di internet. Belum lagi dengan bermunculannya ideologi-ideologi transnasional, yang membuai masyarakat dengan kreatifitas berkedok agama yang banyak memengaruhi kondusifitas dan persatuan Negara yang kita banggakan ini.

Di tahun 2016 sendiri, Kominfo mencatat ada sekitar 800 situs penyebar hoaks dan ujaran kebencian (hate speech). Ini diperparah lagi dengan  data bahwa ada sekitar 44 persen orang Indonesia belum bisa mendeteksi berita hoax.

Sebagai contoh, saat pemilu terjadi, begitu banyak informasi bohong beredar yang mencederai kehormatan para tokoh bangsa. Akibatnya terjadi pertentangan dan hujatan sana-sini. Efeknya pun masih kita temukan hingga kini, sekalipun momen politik telah usai, bahkan lawan politik telah bersatu dalam satu gerbong membangun bangsa, geliat pertentantangan masih terasa dalam hubungan antar sesama.

Atau kejadian yang paling baru, pandemic covid 19, dari rekapitulasi yang dilakukan oleh kominfo sejak 23 januari hingga 8 maret 2020 misalnya, ada 177 jenis hoax yang beredar menyangkut covid 19. Ini baru pada satu hal, namun informasi tidak benar terkait dengan satu jenis hal itu sangat banyak.

Informasi-informasi yang beredar tidak hanya hoax tetapi juga konten-konten anti multikulturalisme, yang menjadi jiwa bangsa kita. Ada yang getol, melakukan propaganda, menunjukkan sistem pemerintahan kita adalah thagut, harus diganti dengan sistem khilafah yang lebih Islami.

Menyaksikan banyak hal menyangkut lalu lintas media sosial kita, dan efek yang bisa ditimbulkan, yakni disintegrasi dan perpecahan bangsa.

Di sinilah peran dan kontribusi sebagai Muslimah Millennial diperlukan untuk menjaga Indonesia. Muslimah dengan berbagai tuntutan peribadatan, kekhalifahan, keilmuwan yang sekaligus lekat dengan informasi dan teknologi yang menyokongnya,  menjaga wadah implementasi keberislaman dan kenahdlatul wathanan.

Kontribusi muslimah millennial, erat kaitannya dengan kerja-kerja di dunia digital tadi. Kalau dalam Istilah yang sering disebutkan oleh Tuan Guru Bajang, penting untuk “memainstreamkan kebaikan”, bagaimana caranya? Penulis mengistilahkannya dengan Infak Millennial, yakni memberikan like, comment, dan share, terhadap berbagai konten-konten kebaikan, kedamaian yang dibuat oleh anak negeri. Hal ini akan menciptakan ruang-ruang digital kita dipenuhi oleh kebaikan, dan tentu sedikit tidak berimplikasi kepada ruang-ruang pertemanan digital kita.  Berita-berita negatif pun akan tertekan dengan banyak informasi baik, informasi positif, pada atmosfer media sosial yang kita miliki.

Tidak hanya itu, tindakan like,comment, dan share itu sendiri bisa memengaruhi proses “monetize” yang diterima oleh pembuat konten. Membantu mereka mendapatkan penghasilan dari konten-konten kebaikan yang mereka ciptakan di dunia maya.

Perlakuan like, comment, dan share ini kita berikan ketika mendapati informasi positif. Tetapi jika kita ingin lebih selective, bahwa konten-konten positif, konten yang benar, tidak semua harus dishare, yang paling penting adalah membagikan konten positif yang bermanfaat. Seperti sering diungkap oleh Tuan Guru Bajang, dalam berbagai kesempatan, bahwa kebenaran pun tak semuanya harus diungkap, disebarkan, sebarkan yang benar dan bermanfaat saja.

Kemudian, bagaimana kalau yang didapati adalah informasi negative, konten-konten yang tidak  baik, hoax, hate speech, hate spin, fitnah? Cara terbaik dengan menghentikan laju informasi negative itu, “cukup berhenti di anda”, jangan lagi membagikan, meskipun memberi keterangan kalau itu hoax. Karena sejatinya, itu kembali kepada prinsip monetize digital tadi, jika anda bagi, para pembuat hoax atau informasi negative yang diuntungkan. Langkah selanjutnya dengan melakukan report atas informasi itu, di setiap platform seperti facebook, youtube, pengguna bisa melaporkan sebuah konten, jika berisi informasi negative. Bahkan, jika ada yang usil, konten positif pun jika direport sebagai konten yang tidak baik, bisa dihapus dari platform, sama halnya dengan beberapa akun sosmed para tokoh nasional yang dibanned, karena pelaporan ramai-ramai, salah satu akun media sosial Tuan Guru Bajang, misalnya.

Sekilas dari berbagai paparan penulis, langkah, aktifitas tersebut masih bisa dilakukan oleh muslimin atau kaum laki-laki, lalu apa pentingnya muslimah melakukan ini. hal ini yang perlu disadari banyak kaum muslimah. Kalian akan menjadi ibu dari anak-anak kalian, seorang ibu yang tidak hanya memastikan gizi dan nutrisi untuk pertumbuhan anak-anaknya, tetapi juga memastikan nutrisi informasi yang positif untuk perkembangan buah hatinya.

Kalian juga akan menjadi istri yang taat kepada suami, pemimpin keluarga, pada hal-hal baik, hal-hal yang tidak membawa kepada kemaksiatan. Kalian adalah yang mendampingi kepemimpinan suami agar tetap berjalan pada porosnya. Anda perlu memastikan suami anda tidak salah arah, hanya karena informasi hoax, hate speech, dan sebagainya. Dari sekian banyak tugas anda mendampingi, ketahuilah, bahwa mendampingi tak lebih mulia dari memimpin.

Kalian juga menjadi anak dari orang tua kalian, jejak-langkah kalian menjadi sorotan, kadangkala juga patokan kehormatan orang tua kalian. Jika kalian asyik dalam kubangan kesalahan informasi, nikmatnya hate speech, apalagi pendukung garis keras Ustadz-ustadz yang ingin membubarkan Negara, semuanya akan kembali kepada kehormatan orang tua kalian. Hal penting lainnya adalah, anda juga bisa menjadi pengawas orang-orang tua kalian yang baru puber dengan teknologi informasi, sehingga mengira apapun yang tersebar di dunia maya adalah kebenaran.

Nah, jika semua ini sudah aman, keluarga-keluarga di Indonesia disokong oleh para muslimah millennial yang memahami ini, maka Negara kita akan aman dari perpecahan, yang dampaknya kepada keamanan, kekhusyuan, menjalankan keislaman dan kenahdlatul wathanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar