Tiga hari yang menyibukkan, tiga hari bersejarah bagiku, anak muda
dengan umur jagung, dihadapkan momen-momen penting organisasi; aku yang
tergabung dalam himpunan mahasiswa Nahdlatul Wathan (HIMMAH NW) Cabang Jakarta
yang merupakan badan otonom dari organisasi Nahdlatul Wathan—satu dari ormas Islam yang ada di Indonesia—mengikuti
kegiatan-kegiatan silaturrahim yang dilakukan PBNW kepada ormas-ormas seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
10 Maret 2017, aku dan kawan-kawan bergegas menuju STAI al-Aqidah al-Hasyimiyah,
tempat dimana ketua HIMMAH NW Cabang Jakarta meminta dijemput guna berangkat
bersama ke Kantor Pusat Muhamadiyah, tempat diselenggarakannya Mou antara PBNW
dengan PP Muhamadiyah. Sayang, kehadiranku dan kawan-kawan tidak tepat waktu,
apalagi aku yang harus berkelabat mencari tempat beli pulsa, kuota yang sudah
sekarat tidak mungkin bisa menyiarkan acara.
Setelah kubereskan segala
masalah mengenai kuota, dorongan pintu auditorium kantor pusat muhamadiyah
seakan menjadi tanda berakhirnya doa dan berakhir acara Mou tersebut; momen
penting itu tidak bisa kuabadikan, hanya remah-remah acara yang dilanjutkan
dengan wawancara sekilas. Tak mengapa, karena hari itu cukup membuat bahagia,
disebabkan pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh besar baik dari PBNW dan PP
Muhamadiyah.
Di lain sisi, berakhirnya acara itu tidak membuat kami jera,
seperti sudah layar terkembang pantang untuk mundur kembali, bagi kami yang
meronta akan eksistensi demi kemajuan organisasi, menembus batas-batas malu
untuk organisasi adalah sebuah kewajiban; hal itu pula yang membuat aku dan
kawan-kawan memutar kata, beretorika, tapi tetap dengan niat yang memang baik,
ingin berjumpa dengan tokoh-tokoh PBNW.
Setelah berunding dan mencoba mengkonfirmasi, tepat disaat raga
sudah mengganggap pertemuan yang kami nafsui itu tidak akan merealita, pesan
pertanda konfirmasi datang; aku dan kawan-kawan lalu melesat menuju Wisma NTB,
tempat bermalamnya para Pengurus Besar Nahdlatul Wathan Jakarta.
Apa yang kami harapkan terwujud juga, kami lalu bertemu dengan TGH.
Hasanain Juaini, LC, MH., dengan hebatnya memupuk semangat kami para generasi
muda, ide-ide briliannya, kepeduliannya kepada generasi muda; kami menawarkan
acara “Istiqlal Berhizib”, Ia malah menawarkan kegiatan Camping untuk pemuda
Internasional, dalam rangka promosi pariwisata halal NTB; buzzzzzzzzz……….menarik
sekali tawaran tersebut. Ia menambahkan kalau kami bisa melakukan itu dignity
kalian akan terlihat.
Usai TGH. Hasanain Juaini, Giliran TGH. Yusuf Makmun yang kami
datangi, banyak petuah-petuah dan pesan-pesan yang kami dapatkan, hampir satu
jam lamanya kami berbincang-bincang, perut kami dikocok pula dengan berbagai
cerita yang sangat lucu. Bincang-bincang itu pun kami tutup dengan shalat Isya
Berjamaah.
11 Maret 2017, menyambung informasi dan permintaan TGH. Hasanain
Juaini yang mengabarkan adanya silaturrahim kepada PBNU, ia meminta kami hadir
untuk meramaikan; lagi-lagi aku melesat bersama kawan-kawan menuju Kantor PBNU.
Di sana, di luar prediksi, ternyata yang boleh masuk dalam ruangan hanyalah
segelintir orang, Alhamdulillah…..beruntung sekali diriku bisa menjadi bagian
dari segelintir orang tersebut. Aku diperbolehkan mendokumentasikan, bahkan
mendengar dengan jelas maksud silaturrahim PBNW kepada PBNU; bahkan melihat
dengan jelas respon dari ketua umum PBNU, KH. Aqil Siradj; momen berharga
bagiku, setidaknya bisa aku ceritakan kepada cucu-cucuku di kemudian hari.
Ah….kadang berfikir, semoga ketiban jadi orang besar, karena sering
bertemu sama orang-orang besar. Hari ini tidak cukup pertemuan dengan PBNU,
ternyata malam harinya aku dan kawan-kawan juga harus menginap di Pondok
Pesantren Nahdlatul Wathan yang ada di Cakung, untuk bertemu dengan KH. Suhaidi
guna membahas pelantikan dan Wapa I HIMMAH NW Jakarta di Pesantren Tersebut;
silaturrahim itu sangat berharga bagiku dan kawan-kawan, seorang KH. Suhaidi
menganggap kami sebagai seorang adik yang perlu diayomi, bahkan ia meminta
untuk berkata secara blak-blakan saja, ia meminta kami sebagai generasi muda
yang berani.
Jam terus berputar, usai bertemu kyai, kamar khusus tamu masih
menyala sampai jam setengah tiga, kami habiskan malam itu dengan
bincang-bincang multitopik, mulai dari pergerakan bahkan sampai mengenai
perempuan.
12 Marett 2017, Mobil kami kebut menuju Taman Mini Indonesia Indah,
meski muka masih pajangkan ekspresi nikmatnya berlayar di lautan kapuk, kami
tetap melaju untuk menghadiri pementasan seni suku sasak, yakni peresean yang
diorganisir oleh anak-anak Merang Sasaq. Cukup menghibur kami, bahkan ada
berbagai tarian dari para remaja-remaja cantik, sempat foto bersama pula.
Hari –hari yang melelahkan namun berkesan, setidaknya nikmat
pergerakan dapat kami cicipi.
Salam Pergerakan; Kompak, Utuh, Bersatu
Salam Perjuangan; Yakin, Ikhlas, Istiqamah