Berpagi-pagi kusiram badan ini dengan air shubuh buta. Kegiatan meliput
yang tak berjarak dekat menuntutku melakukannya. Tak tanggung-tanggung, tugas
meliput sosok Gubernur NTB, Gubernur yang ramai diperbincangkan di jagat sosial
media atas prestasi dan kebijaksanaannya.
Cakung, tepatnya di pesantren NW di bawah Yayasan Mi’rajussibyan
yang mengadakan Haul ke-19 Maulana Syaikh, TGB dijadwalkan hadir. Seminar Politik Islam di Universitas
Paramadina, hari yang sama pada jam yang berbeda; juga di Yayasan Komunikasi
Indonesia atas undangan persatuan mahasiswa Kristen.
Padat benar jadwal pak
Gubernur, padahal ia baru saja melawat ke Natuna dalam rangka mengikuti
pelatihan militer. Bahkan, tiga tempat tersebut bertambah satu, sebelum Cakung,
Ia harus menghadiri peresmian Pesantren Al- Hilal, Jakarta Timur. Total empat
tempat yang akan dikunjungi TGB. Pantas saja, seorang Yusuf Mansur terkesima
dengan jadwal padat TGB.
Hilal usai, Cakung pun ia datangi, mengobati rindu santri dan
santriwati, ustadz dan ustadzati, bahkan masyarakat yang sudah menanti-nanti.
Di Cakung, ia gelorakan semangat perjuangan dengan uraian cerita tentang
Maulana Syaikh. Ia mengajak untuk memprioritaskan apa yang harus diprioritaskan
dalam hidup. Yaitu menjaga diri dan keluarga dari api neraka dengan pendidikan.
Di Paramadina, ia datang dengan perspektif berbeda tentang Islam
dan Demokrasi. Ia berbeda pandangan tentang menghadapkan Islam dan Demokrasi. Baginya,
ada banyak titik persamaan antara demokrasi dan Islam, tapi yang muncul
sekarang malah titik perbedaan kecil yang dibesar-besarkan. Selain itu, Ia
konsisten menyatakan bahwa memajukan Agama berarti memajukan negara, begitu juga sebaliknya.
Ia juga sampaikan makna pancasila menurut pribadinya, Pancasila
berarti “kemanusiaan yang berketuhanan”,
berbeda dengan Soekarno (Trisila), Soeharto (P4), Abdurrahman Wahid
(Pluralisme). Satu sila menyangkut ketuhanan, empat sila menyangkut
kemanusiaan. Namun, ketuhanan sendiri tapak ujiannya ada pada kemanusiaan,
tidak mungkin anda berketuhanan baik jika kemanusiaan anda tidak baik.
Usai menyampaikan materi, pamit TGB menjadi rebutan peserta yang
ingin selfie dan welfie. Jarak panggung dengan pintu ruangan yang hanya
beberapa meter dan tak cukup satu menit untuk bisa keluar, menjadi
bermenit-menit; Lucunya seminar harus
terhenti sejenak, karena animo para peserta ingin foto ria bersama TGB. selfie,
welfie, wawancara, menghiasi langkah kepergian TGB menuju acara selanjutnya.
Sayang, acara ketiga batal, entah kenapa? Katanya sih
ketidaksanggupan panitia, rombongan pun bergegas menerobos kemacetan menuju
bandara Soekarno Hatta.
See ya next time.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar