Senin, 05 November 2018

Kopikir Bareng HIMMAH NW Jakarta: Kebhinekaan, Hoax, dan Mahasiswa


Serutan demi serutan kopi kunikmati, di tengah penjelasan bersahaja Kakak Yos Elopere, Pengurus Forum Mahasiwa Papua pada Kopikir Bareng HIMMAH NW Jakarta. Serutan itu tidak hanya mengaktifkan saraf perasa lidahku, tapi juga mengkelindankan  ruang-ruang pemikiran, mencerna, dan mencoba mengingat beragam informasi sepadan, yang pernah kudengar atau pun kubaca, selain dari kalam-kalam Kakak Yos.

Tentu ada banyak hal yang disampaikan, tak jauh-jauh, bertumpu pada tema yang diusung “ Merawat Persatuan dalam Bingkai Kebhinekaan”. Belum lagi, dipandu oleh moderator bergayakan talkshow, untuk membuat acara ini lebih interaktif.

Banyak  hal diulas, tentunya diawali dengan paparan singkat pengenalan diri dan pengenalan komunitas atau pun organisasi, baru merambat menuju tema, yang disarikan ke dalam pertanyaan mengenai agama, persatuan, dan realitas kebangsaan saat ini.


Perjumpaan intelektual, perjumpaan kebangsaan, atau apapun namanya, berbalutkan Kopikir—menyeruput kopi sambil mikir—ini makin lengkap dengan kehadiran kakak cantik, Olifia Hukunala, pengurus Forum Komunikasi Mahasiswa Indonesia Timur, yang bymemaparkan hal penting dan menjadi problematika bangsa saat ini, tentang “Hoax”. Bukan sekedar menjelaskan apa itu hoax, tapi bagaimana pemuda bangsa turut andil menyelesaikan permasalahan hoax yang menjangkiti hampir semua orang, yang tak memandang strata pendidikan.

Ada banyak paparan, pertanyaan, jawaban, yang beredar pada acara ini. Rasanya tak sanggup juga mencerna beragam informasi itu. Namun, setidaknya ada hal yang menarik saya untuk berkomentar. Prihal agama, kebenaran, dan tentunya hoax era ini.

Bagi bangsa Indonesia, bahkan banyak Negara saat ini, sudah pasti mendapati realitas bahwa agama adalah satu dari unsur, elemen, yang menunjukkan kebhinekaan.  Sayangnya, agama, misalnya terkhusus Islam dicitrakan sebagai agama yang merusak persatuan. Mau tidak mau, bercitrakan demikian, karena lakon dan aksi-aksi pemeluk agama, akhir-akhir ini condong demikian.

Maka bagi saya patut menghadirkan pendapat Abu Nimr menyangkut fungsi agama. Bahwa agama memang memiliki dua fungsi: fungsi disintegrative dan fungsi integrative. Okay…boleh saja, gambaran Islam yang muncul saat ini adalah gambaran disintegrativenya, tapi jangan dilupakan bahwa ada gambaran atau fungsi integrative yang harus ditonjolkan oleh saya, anda,  dan kita semua.

Selanjutnya menyangkut kebenaran, banyak yang sering mengklaim diri paling benar. Kata Kakak Elo, selintas, klaim diri paling benar itu juga yang sedikit tidak memberi efek konflik, mengguncang persatuan. Akhir saya pun tertarik, menyampaikan pendapat Alfred Head Northwhite, pada buku “Virus of The Mind” buah kreasi, Richard Brodie, bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak,  seluruh kebenaran adalah separuh kebenaran. Jika ada yang mengklaim paling benar, maka itulah syaithan. Kurang lebih, redaksi pendapat itu demikian.

Hehehe…pendapat itu bisa jadi akan diperdebatkan panjang, tetapi pada konteks ini saya hanya ingin, kita merefleksi diri, boleh saja meyakini diri paling benar, asal cukup anda diamkan dalam batin, tidak usah teriak-teriak, apalagi sampai bertindak keras, hanya untuk menunjukkan eksistensi kebenaran yang anda yakini. Cobalah melihat, bagaimana Imam Syafi’I, ia ulama besar dengan keilmuwan yang mumpuni, toh, beliau tetap tawaduk, jika ada pendapat imam lain yang lebih benar dari pendapat Imam Syafi’I, maka gunakan pendapat imam lain itu. Kira-kira seperti itu yang dikabarkan Imam Syafi’I lewat tulisan dan bebagai ceramah para Tuan Guru.

Masih menyangkut agama, yang ya…bisa jadi sudah di luar batas pembicaraan pada Kopikir…hehe. Tak mengapa, saya juga ingin menghadirkan pendapat Menteri Agama, Lukman Hakim Saepudin, beberapa tahun lalu, kebetulan pernah mendengarkan sambutan beliau, dalam sebuah forum. Pendapatnya begini, bahwa di dalam beragama kita memang harus “radikal”. Sekilas, saya bahasakan demikian. Tetapi maksud sebenarnya adalah, beragama dalam artian berpengatahuan agama harus radikal. Artinya, pengetahuan keagamaan seorang harus benar-benar radikal, harus benar-benar mengakar. Jadi, pada konteks ini maksudnya bukan pata tindakan radikal yang sudah mainstream di publik saat ini, tetapi pengetahuan agama yang mengakar, itulah yang disebut dengan pengetahuan agama yang radikal.

Yaa…beberapa hal itu yang ingin saya ucap kemarin, tetapi karena keadaan yang tak mengizinkan, alangkah bagusnya saya tuangkan dalam paragraf demi paragraf ini. Meski kemudian, tak terlalu terkait dengan tema yang diusung pada Kopikir perdana tersebut.

Meski demikian, setidaknya ada tiga hal yang bisa saya simpulkan pada  Kegiatan Kopikir kemarin; ada tetang kebhinekaan, hoax, dan mahasiswa sebagai agent of change. Bagi saya ketiga hal ini berkait, bahwa perbedaan-perbedaan kita yang sudah lama mengakar, diguncang dengan berbagai informasi hoax, berlatarkan berbagai kepentingan politik atau pun ekonomi; menuntut mahasiswa atau pun pemuda untuk proaktif, menjadi agen-agen perdamaian, agen-agen counter hoax. Tidak muluk-muluk, tak mesti turun ke jalan, bakar ban, atau bahkan bakar bendera, cukup dengan menciptakan konten-konten positif, konten-konten perdamaian, yang disebarkan di sosial media masing-masing, itu sudah menunjukkan, anda berperan dalam “Merawat Persatuan dalam Bingkai Kebhinekaan,”.

Wallahulmuwaffiq Walhadi ila sabilirrasyad
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam hangat, Salim Rahmatullah.
Rumah Perjuangan, Gandul, Ahad (05/11)

Note: Selfong bersama Kakak Olifia Hukunala…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar