Minggu, 22 September 2019

Dua Hari di Madura: Merasakan Sensasi Sate, Kopi, Goyangan Perahu, Hingga Oksigen Segar Gili Iyang




Kopi Madura dengan gelintiran-gelintiran kecil hitam, Sate Madura hidangan ibu rumah tangga, goyangan perahu selat dungkek, oksigen segar Gili Iyang dan beberapa titik destinasi di dalamnya, itulah sekelumit suguhan menarik sisi timur Madura, dari perjalananku menjabat erat seorang kawan.

Seminggu yang lalu agenda mengunjungi kawan di Madura sana teragendakan. Berawal dari kedatangan Kembali Dosen  Kece, panggilan kesayangan kami—Uncle  Rahman, salah satu dosen di kampus ternama Jakarta—ke Pare. Tempat dimana aku dan kawan-kawan menjalin relasi, sesama pembelajar bahasa Inggris dan pemimpi kuliah di luar negeri.   Relasi yang terjalin singkat namun mengikat, membuat kami tetap akrab. Uncle Rahman, dengan kemampuan ulung menyetir Mobil ini, menginisiasi perjalanan ke tanah Madura, yang terkenal dengan sate maduranya.

Bismillahi majreha wa mursaha, kami pun berangkat dari Pare. Menempuh jarak  yang tak singkat, melewati persawahan warga Jawa Timur, kebun tebu,  jalan kota-kota kecil,  lalu masuk jalan tol cepat menuju Surabaya.  Kemudian, melewati jembatan Suramadu yang menyampaikan kami ke Pulau Madura. Benar ternyata, memang perjalanan ini tidak singkat, setelah sekitar 6 jam lamanya, kami pun sampai di Pamekasan, salah satu kabupaten di Madura, dimana  rumah kawan berada.


Tak perlu banyak tanya, hanya bermodalkan google maps, kami sampai di sebuah desa. kiri-kanan jalan nampak persawahan petani yang kering, khas dengan kolam yang diairi oleh selang-selang kecil. Tanaman yang nampak di tanam adalah tembakau. Pemandangan kering ini sontak melayangkanku ke Lombok bagian selatan yang juga penghasil tembakau. Ya, inilah Madura, daerah yang termasuk penghasil tembakau terbaik.

Sesampai di Rumah Muhlis, kami disambut dengan kopi hitam khas Madura. Kopi hitam ini menarik, awalnya aku bingung karena banyak gelintiran-gelintiran kecil hitam di dalamnya. Usut diusut, Tuan Rumah pun bercerita, kalau di Madura kopi itu tidak digiling dengan mesin, tetapi ditumbuk. Gelintiran-gelintiran kecil itulah sisa-sisa tumbukan kopi yang tidak melebur. Menurut ceritanya, awalnya pernah digiling dengan mesin, tapi tidak terlalu disukai oleh bapak-bapak di Madura, mereka lebih senang ditumbuk, dan gelintiran kopi itu enak juga digigit. Jadi, menikmati kopi lokal Madura, selain menghirup anda juga bisa menggigit gelintiran kecil hitam. Hehehhe.

Sruttttt…..sruuuppp…. sruput demi sruput kopi hitam, menyelangi bincang-bincang kami seputar banyak hal. Tentang skor toefl yang tidak naik-naik, listening dan reading IELTS yang bikin ill feel , rencana-rencana beasiswa dan kuliah S2 dan S3, hingga topik receh seputar mencari pasangan, yang paling ditunggu, membincang destinasi-destinasi wisata di Madura yang akan kami kunjungi; dan tak terasa matahari pun menurun, mengantarkan menuju gerbang magrib. Bincang-bincang itu kami tutup dengan sebaik-sebaik komunikasi, komunikasi Hamba dengan Tuhannya, shalat.

Usai shalat, bukan bantal empuk atau pun selimut yang terambil guna melepas kelelahan kami, tetapi hidangan keluarga bro Muhlis, tak kuat untuk ditinggalkan. Kami pun jatuh dalam keasyikan menyantap makan malam, sembari mendengar rencana perjalanan setelah makan. Tidak lain, Api abadi yang berada di daerah Pamekasan menjadi destinasi yang dikunci.

Kemudian, tak memakan waktu lama, hanya beberapa menit dari rumah bro Muhlis, kami sampai di lokasi Api Abadi, tentunya, setelah membayar uang masuk sebesar 10 ribu rupiah untuk satu mobil.  “Api Abadi”, dalam bayanganku, akan ada jalur terjal untuk sampai kesana, ternyata tidak, hanya ada kelilingan pagar besi  dengan bagian bawah terbetoni. Api yang menyala muncul dari bawah kelilingan pagar itu. Para pedagang aksesoris khas Madura membuat toko-toko kecil mengelilingi tempat itu.

Tak ingin hanya sekedar memanjakan mata, api abadi ini lebih tepatnya digunakan untuk membakar atau pun memanggang jagung oleh para pengunjung. Jagung, ikan, ayam, ubi tidak luput menjadi bahan bakaran dan panggangan. Aku dan kawan-kawan pun tidak ketinggalan membakar jagung yang banyak dijajakan di tempat ini. Tak butuh waktu lama, hasil bakaran jagung langsung bisa disantap. Bakar dan santap usai, kami pun balik  untuk istirahat, mengumpulkan tenaga guna menjelajah destinasi wisata esok harinya.

Sate Khas Madura menu sarapan istimewa

Tak seperti di kota, di Madura, kami bangun pagi bukan karena suara azan shubuh, tetapi karena suara murattal al-Qur’an yang terdengar riuh dari corong mushalla setempat, beberapa menit, cukup bermenit-menit, hingga azan shubuh dikumandangkan. Udara pagi juga cukup dingin, iya, memang kondisi cuaca di banyak daerah negeri ini sedang merasakan demikian.

Untungnya, sarapan pagi istimewa, satu khas Madura, cukup membuat suasana menjadi hangat.  Rasanya  nikmat, daging  sapinya empuk, kelezatan yang mevah, pasalnya dibuat langsung oleh ibu rumah tangga Madura, dimakan di Madura, benar-benar Madura pokoknya. Ditambah lagi, hidangan sate ini ini disempurnakan dengan masakan kaldu, masakan unik karena ditambahkan kacang ijo. Bagi kami yang bukan native Madura, kacang ijo ya untuk bubur, bukan untuk lauk.

Seiring berjalan waktu, sarapan berenergi itu kami akhiri. Saatnya menyusuri daerah-daerah wisata di Madura. Tujuan kami jatuh ke Gili Iyang atau terkenal dengan pulau oksigen. Pulau ini berada di daerah Sumenep, salah satu kabupaten yang ada di Pulau Madura. Kabupaten ini terkenal dengan daerah wisatanya, ia daerah ujung dari Madura. Oh ya, ngomong-ngomong daerah-daerah di Madura, ada Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.

1000 Cerita Gili Iyang (Pulau Oksigen)

Gili iyang, aku sendiri baru pertama kali mendengar daerah ini, katanya sih terkenal banget, karena merupakan daerah dengan kadar udara terbersih kedua di  dunia, setelah Yordania. Menariknya, penduduk yang tinggal di tempat ini memiliki usia yang panjang. Wah…wah… bikin penasaran dong. Makanya, daerah ini menjadi spot yang kami kunci untuk dituju. Bapak dosen kece pun gas polllll ke Gili Iyang, karena jarak Pamekasan ke tempat ini lumayan menyita waktu.

Setelah berkendara cukup lama, kami  sampai di Dungkek, suatu daerah, di mana kapal-kapal motor menyebrangkan warga ke Pulau Oksigen. Gelombang dan angin pagi itu cukup keras, membuat kapal-kapal yang bersandar bergoyang-goyang. Beberapa kapal sedang bongkar-muat muatan. Kami harus menunggu, sampai kapal yang akan kami tumpangi mendapatkan waktunya bongkar-muat.

Waktu menunggu ini kami gunakan untuk berfoto dan bercerita. Warga setempat ada yang bercerita kalau beberapa waktu lalu, ada kapal yang tenggelam karena kerasnya gelombang, sekitar 30 orang meninggal dunia. Cerita itu membuat kami takut, gelisah, bahkan ada yang bercanda ingin membuat wasiat. Pemandangan yang Nampak semakin menggelisahkan, deburan gelombang, menggoyangkan kapal-kapal yang menyebrang, goyangannya terlihat menakutkan, seperti mau tenggelam. Aku sendiri mencoba untuk tenang, sembari menebar semangat positif.

Giliran kapal yang kami tumpangi menaikkan muatan. Berbagai barang-barang kebutuhan keluarga, barang dagangan, antena TV, kulkas,  dan lain-lain diangkut. Benar sekali, penyebrangan kami ke Gili Iyang sangat memacu adrenalin, kapal bergoyang terhempas gelombang tinggi, zikir membathin  kulakoni, teman-teman memberikan senyum palsu tanda gelisah. Kontras sekali dengan penumpang lain yang merupakan warga sekitar, raut muka mereka biasa saja, bercengkrama dengan yang lain tanpa takut, merokok dengan santai. Ketakutan kami bukan tak beralasan, jika kapal ini terbalik, maka tamat sudah riwayat kami, karena perjalanan ini tidak menyediakan pelampung sama sekali.

Syukur kami beribu, akhirnya setelah dihantui kegelisahan selama satu jam, kami sampai di Gili Iyang. Terlihat sepi, hanya ada beberapa warga sekitar yang hendak menunggu barang-barang mereka. Tempat bersandar kapal hanya jembatan kecil terapung.

Mengendarai Viar, motor roda tiga dengan bak terbuka, kami menjemput pesona Gili Iyang titik per titik. Titik pertama, sebuah rumah yang dihuni bapak dan ibu berumur mencapai satu abad. Waow…gila… Bapak Sahlan berumur 120 tahun dan istrinya 100 tahun. Ajaibnya mereka sehat, layaknya orang tua yang berumur 60 tahun. Di rumah mereka inilah dibuka untuk kedatangan para tamu, ada tulisan tentang titik oksigen, WC yang katanya hadiah dari Jokowi, hingga warung sederhana yang menjajakan barang dagangan yang tak seberapa.

Patut untuk dikagumi, udara di sini memang terasa segar. Menurut cerita bapak, sudah banyak orang penting negeri ini yang singgah, bahkan bermalam untuk merasakan kesegaran oksigen Gili Iyang. Titik- titik oksigen tersebar di pulau ini. Pulau dengan tingkat oksigen terbaik kedua di dunia, setelah Yordania. Aku tak mengerti, kenapa bisa jadi tempat oksigen terbaik. Jelasnya, menurut cerita bapak, dulu ada helikopter yang berkelindan di atas pulau ini. Tidak lama setelah kejadian itu, orang- orang dari Jakarta datang  dan memeriksa, membawa alat, yang hasilnya menunjukkan Gili Iyang memiliki kadar oksigen yang baik. Kondisi inilah yang disinyalir menjadi sebab banyak warga yang berumur panjang.

Perjalanan kami lanjutkan ke Batu Canggah. Sebuah tebing yang menghadap laut ganas pasifik. Tebing dengan bagian tengah menyisakan ruang, sehingga bisa menjadi area menikmati deburan ombak dan berbagai relief  yang terbentuk, akibat hasil deburan ombak masa lalu. Di sini, kita seperti dipayungi. Pihak pengelola melengkapi pinggir- pinggirnya dengan pagar. Untuk masuk ke tempat ini harus menuruni tangga bambu dan tentunya bayar tiket masuk dulu yaa…hehe. Karena masih terbilang sepi, sudah ada nomor kontak yang sediakan, kalau ada wisatawan yang ingin masuk, tinggal telpon sendiri. hehe

Perjalanan berikut ke Gua Sarefa. Layaknya gua- gua di Indonesia, gua ini lebih mirip gua karang, mungkin dulu pernah berada di dasar laut, sebagaimana gili disebut juga sebagai pulau karang. Suasana gelap di beberapa titik, ada juga yang terang, membuat spot terbaik untuk foto. cahaya masuk melalui  lubang, menerobos  gelapnya gua.

Itulah beberapa  wisata di Gili Iyang yang perlu mendapat sentuhan pariwisata lebih intensif. Gilli Iyang cukup mempesona, hanya saja para pelancong butuh transportasi yang menekankan  amanitas agar tidak dag…dig… dug di tengah penyebrangan… hehehe


*tulisan ini dipublikasi juga di Kompasiana



Tidak ada komentar:

Posting Komentar