Kopi Madura
dengan gelintiran-gelintiran kecil hitam, Sate Madura hidangan ibu rumah
tangga, goyangan perahu selat dungkek, oksigen segar Gili Iyang dan beberapa
titik destinasi di dalamnya, itulah sekelumit suguhan menarik sisi timur
Madura, dari perjalananku menjabat erat seorang kawan.
Seminggu
yang lalu agenda mengunjungi kawan di Madura sana teragendakan. Berawal dari
kedatangan Kembali Dosen Kece, panggilan
kesayangan kami—Uncle Rahman, salah satu
dosen di kampus ternama Jakarta—ke Pare. Tempat dimana aku dan kawan-kawan
menjalin relasi, sesama pembelajar bahasa Inggris dan pemimpi kuliah di luar
negeri. Relasi yang terjalin singkat
namun mengikat, membuat kami tetap akrab. Uncle Rahman, dengan kemampuan ulung
menyetir Mobil ini, menginisiasi perjalanan ke tanah Madura, yang terkenal
dengan sate maduranya.
Bismillahi
majreha wa mursaha, kami pun berangkat dari Pare.
Menempuh jarak yang tak singkat,
melewati persawahan warga Jawa Timur, kebun tebu, jalan kota-kota kecil, lalu masuk jalan tol cepat menuju
Surabaya. Kemudian, melewati jembatan
Suramadu yang menyampaikan kami ke Pulau Madura. Benar ternyata, memang
perjalanan ini tidak singkat, setelah sekitar 6 jam lamanya, kami pun sampai di
Pamekasan, salah satu kabupaten di Madura, dimana rumah kawan berada.
Tak perlu
banyak tanya, hanya bermodalkan google maps, kami sampai di sebuah desa.
kiri-kanan jalan nampak persawahan petani yang kering, khas dengan kolam yang
diairi oleh selang-selang kecil. Tanaman yang nampak di tanam adalah tembakau.
Pemandangan kering ini sontak melayangkanku ke Lombok bagian selatan yang juga
penghasil tembakau. Ya, inilah Madura, daerah yang termasuk penghasil tembakau
terbaik.
Sesampai di
Rumah Muhlis, kami disambut dengan kopi hitam khas Madura. Kopi hitam ini
menarik, awalnya aku bingung karena banyak gelintiran-gelintiran kecil hitam di
dalamnya. Usut diusut, Tuan Rumah pun bercerita, kalau di Madura kopi itu tidak
digiling dengan mesin, tetapi ditumbuk. Gelintiran-gelintiran kecil itulah
sisa-sisa tumbukan kopi yang tidak melebur. Menurut ceritanya, awalnya pernah
digiling dengan mesin, tapi tidak terlalu disukai oleh bapak-bapak di Madura,
mereka lebih senang ditumbuk, dan gelintiran kopi itu enak juga digigit. Jadi,
menikmati kopi lokal Madura, selain menghirup anda juga bisa menggigit
gelintiran kecil hitam. Hehehhe.
Sruttttt…..sruuuppp….
sruput demi sruput kopi hitam, menyelangi bincang-bincang kami seputar banyak
hal. Tentang skor toefl yang tidak naik-naik, listening dan reading IELTS yang
bikin ill feel , rencana-rencana beasiswa dan kuliah S2 dan S3, hingga
topik receh seputar mencari pasangan, yang paling ditunggu, membincang
destinasi-destinasi wisata di Madura yang akan kami kunjungi; dan tak terasa
matahari pun menurun, mengantarkan menuju gerbang magrib. Bincang-bincang itu
kami tutup dengan sebaik-sebaik komunikasi, komunikasi Hamba dengan Tuhannya,
shalat.
Usai shalat,
bukan bantal empuk atau pun selimut yang terambil guna melepas kelelahan kami,
tetapi hidangan keluarga bro Muhlis, tak kuat untuk ditinggalkan. Kami pun
jatuh dalam keasyikan menyantap makan malam, sembari mendengar rencana
perjalanan setelah makan. Tidak lain, Api abadi yang berada di daerah Pamekasan
menjadi destinasi yang dikunci.
Kemudian, tak
memakan waktu lama, hanya beberapa menit dari rumah bro Muhlis, kami sampai di
lokasi Api Abadi, tentunya, setelah membayar uang masuk sebesar 10 ribu rupiah
untuk satu mobil. “Api Abadi”, dalam
bayanganku, akan ada jalur terjal untuk sampai kesana, ternyata tidak, hanya
ada kelilingan pagar besi dengan bagian
bawah terbetoni. Api yang menyala muncul dari bawah kelilingan pagar itu. Para
pedagang aksesoris khas Madura membuat toko-toko kecil mengelilingi tempat itu.
Tak ingin
hanya sekedar memanjakan mata, api abadi ini lebih tepatnya digunakan untuk
membakar atau pun memanggang jagung oleh para pengunjung. Jagung, ikan, ayam,
ubi tidak luput menjadi bahan bakaran dan panggangan. Aku dan kawan-kawan pun
tidak ketinggalan membakar jagung yang banyak dijajakan di tempat ini. Tak
butuh waktu lama, hasil bakaran jagung langsung bisa disantap. Bakar dan santap
usai, kami pun balik untuk istirahat,
mengumpulkan tenaga guna menjelajah destinasi wisata esok harinya.
Sate Khas
Madura menu sarapan istimewa
Tak seperti
di kota, di Madura, kami bangun pagi bukan karena suara azan shubuh, tetapi karena
suara murattal al-Qur’an yang terdengar riuh dari corong mushalla setempat,
beberapa menit, cukup bermenit-menit, hingga azan shubuh dikumandangkan. Udara
pagi juga cukup dingin, iya, memang kondisi cuaca di banyak daerah negeri ini
sedang merasakan demikian.
Untungnya,
sarapan pagi istimewa, satu khas Madura, cukup membuat suasana menjadi
hangat. Rasanya nikmat, daging sapinya empuk, kelezatan yang mevah, pasalnya
dibuat langsung oleh ibu rumah tangga Madura, dimakan di Madura, benar-benar
Madura pokoknya. Ditambah lagi, hidangan sate ini ini disempurnakan dengan
masakan kaldu, masakan unik karena ditambahkan kacang ijo. Bagi kami yang bukan
native Madura, kacang ijo ya untuk bubur, bukan untuk lauk.
Seiring
berjalan waktu, sarapan berenergi itu kami akhiri. Saatnya menyusuri
daerah-daerah wisata di Madura. Tujuan kami jatuh ke Gili Iyang atau terkenal
dengan pulau oksigen. Pulau ini berada di daerah Sumenep, salah satu kabupaten
yang ada di Pulau Madura. Kabupaten ini terkenal dengan daerah wisatanya, ia
daerah ujung dari Madura. Oh ya, ngomong-ngomong daerah-daerah di Madura, ada
Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
1000 Cerita
Gili Iyang (Pulau Oksigen)
Gili iyang,
aku sendiri baru pertama kali mendengar daerah ini, katanya sih terkenal
banget, karena merupakan daerah dengan kadar udara terbersih kedua di dunia, setelah Yordania. Menariknya, penduduk
yang tinggal di tempat ini memiliki usia yang panjang. Wah…wah… bikin penasaran
dong. Makanya, daerah ini menjadi spot yang kami kunci untuk dituju. Bapak
dosen kece pun gas polllll ke Gili Iyang, karena jarak Pamekasan ke tempat ini
lumayan menyita waktu.
Setelah
berkendara cukup lama, kami sampai di
Dungkek, suatu daerah, di mana kapal-kapal motor menyebrangkan warga ke Pulau
Oksigen. Gelombang dan angin pagi itu cukup keras, membuat kapal-kapal yang
bersandar bergoyang-goyang. Beberapa kapal sedang bongkar-muat muatan. Kami
harus menunggu, sampai kapal yang akan kami tumpangi mendapatkan waktunya
bongkar-muat.
Waktu
menunggu ini kami gunakan untuk berfoto dan bercerita. Warga setempat ada yang
bercerita kalau beberapa waktu lalu, ada kapal yang tenggelam karena kerasnya
gelombang, sekitar 30 orang meninggal dunia. Cerita itu membuat kami takut,
gelisah, bahkan ada yang bercanda ingin membuat wasiat. Pemandangan yang Nampak
semakin menggelisahkan, deburan gelombang, menggoyangkan kapal-kapal yang
menyebrang, goyangannya terlihat menakutkan, seperti mau tenggelam. Aku sendiri
mencoba untuk tenang, sembari menebar semangat positif.
Giliran
kapal yang kami tumpangi menaikkan muatan. Berbagai barang-barang kebutuhan keluarga,
barang dagangan, antena TV, kulkas, dan
lain-lain diangkut. Benar sekali, penyebrangan kami ke Gili Iyang sangat memacu
adrenalin, kapal bergoyang terhempas gelombang tinggi, zikir membathin kulakoni, teman-teman memberikan senyum palsu
tanda gelisah. Kontras sekali dengan penumpang lain yang merupakan warga
sekitar, raut muka mereka biasa saja, bercengkrama dengan yang lain tanpa
takut, merokok dengan santai. Ketakutan kami bukan tak beralasan, jika kapal
ini terbalik, maka tamat sudah riwayat kami, karena perjalanan ini tidak
menyediakan pelampung sama sekali.
Syukur kami
beribu, akhirnya setelah dihantui kegelisahan selama satu jam, kami sampai di
Gili Iyang. Terlihat sepi, hanya ada beberapa warga sekitar yang hendak
menunggu barang-barang mereka. Tempat bersandar kapal hanya jembatan kecil
terapung.
Mengendarai
Viar, motor roda tiga dengan bak terbuka, kami menjemput pesona Gili Iyang
titik per titik. Titik pertama, sebuah rumah yang dihuni bapak dan ibu berumur
mencapai satu abad. Waow…gila… Bapak Sahlan berumur 120 tahun dan istrinya 100
tahun. Ajaibnya mereka sehat, layaknya orang tua yang berumur 60 tahun. Di rumah
mereka inilah dibuka untuk kedatangan para tamu, ada tulisan tentang titik
oksigen, WC yang katanya hadiah dari Jokowi, hingga warung sederhana yang
menjajakan barang dagangan yang tak seberapa.
Patut untuk
dikagumi, udara di sini memang terasa segar. Menurut cerita bapak, sudah banyak
orang penting negeri ini yang singgah, bahkan bermalam untuk merasakan
kesegaran oksigen Gili Iyang. Titik- titik oksigen tersebar di pulau ini. Pulau
dengan tingkat oksigen terbaik kedua di dunia, setelah Yordania. Aku tak
mengerti, kenapa bisa jadi tempat oksigen terbaik. Jelasnya, menurut cerita
bapak, dulu ada helikopter yang berkelindan di atas pulau ini. Tidak lama
setelah kejadian itu, orang- orang dari Jakarta datang dan memeriksa, membawa alat, yang hasilnya
menunjukkan Gili Iyang memiliki kadar oksigen yang baik. Kondisi inilah yang
disinyalir menjadi sebab banyak warga yang berumur panjang.
Perjalanan kami
lanjutkan ke Batu Canggah. Sebuah tebing yang menghadap laut ganas pasifik. Tebing
dengan bagian tengah menyisakan ruang, sehingga bisa menjadi area menikmati
deburan ombak dan berbagai relief yang
terbentuk, akibat hasil deburan ombak masa lalu. Di sini, kita seperti
dipayungi. Pihak pengelola melengkapi pinggir- pinggirnya dengan pagar. Untuk masuk
ke tempat ini harus menuruni tangga bambu dan tentunya bayar tiket masuk dulu
yaa…hehe. Karena masih terbilang sepi, sudah ada nomor kontak yang sediakan,
kalau ada wisatawan yang ingin masuk, tinggal telpon sendiri. hehe
Perjalanan berikut
ke Gua Sarefa. Layaknya gua- gua di Indonesia, gua ini lebih mirip gua karang,
mungkin dulu pernah berada di dasar laut, sebagaimana gili disebut juga sebagai
pulau karang. Suasana gelap di beberapa titik, ada juga yang terang, membuat
spot terbaik untuk foto. cahaya masuk melalui
lubang, menerobos gelapnya gua.
Itulah beberapa
wisata di Gili Iyang yang perlu mendapat
sentuhan pariwisata lebih intensif. Gilli Iyang cukup mempesona, hanya saja
para pelancong butuh transportasi yang menekankan amanitas agar tidak dag…dig… dug di tengah
penyebrangan… hehehe
*tulisan ini dipublikasi juga di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar