Majma’atul Bahrain
Metode terbaik untuk keilmuwan yang komprehensif dan
bermakna
Jumat kali ini berbeda dengan jumat-jumat yang lalu.
jumat kali ini seminar Nasional al-Qur’an menghadirkan Prof. Dr. Nasarudin
Umar, M.A. ada banyak hal yang aku dapatkan
berkaitan dengan pengetahuan akan al-Qur’an. Sebelumnya perlu diketahui
bahwa apa yang tertulis pada tulisan ini telah mengalami peleburan dengan
pikiran-pikiranku, sehingga tulisan ini tidak
sepenuhnya perkataan pak prof. tetapi tulisan ini adalah pengembangan juga
terhadap perkataan pak prof.
Beliau berbicara tidak terlalu lama, tetapi isinya
mengenyangkan. Ketika membahas ke-ummian nabi Muhammad saw, ia berkata maksud
ke-ummian di sini bukanlah berarti tidak bisa membaca dan menulis, tetapi
sebagaimana orang-orang qurays yang memang tidak pernah membaca dan menulis
wahyu Tuhan, karena apa yang disampaikan Jibril as adalah wahyu sedangkan Nabi
Muhammad Saw sebagai orang Qurays. Orang qurays sendiri hanya berkutat pada
membaca dan menulis syair bukan wahyu Tuhan, bangsa yang biasa menulis wahyu
adalah bangsa palestina.
Kata ummi sendiri bukan berasal dari bahasa arab asli,
kata ini berasal dari bahasa Hebrew yang
berarti “kasih sayang” makanya ibu disebut dengan Ummi karena selalu memberikan
kasih sayang kepada anak-anaknya.
Secara logis ketika nabi dikatakan tidak bisa membaca
dan menulis itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin seorang nabi dengan status
sosial pembawa wahyu Tuhan tidak bisa membaca dan menulis. Kaitannya dengan
persangkaan para ulama yang menyatakan bahwa nabi memang tidak bisa membaca dan
menulis dengan alasan orisinalitas al-Qur’an, karena kalau nabi bisa membaca
dan menulis, takutnya al-qur’an dipersangkakan karya nabi Muhammad Saw. Ini
adalah logika yang sedikit keliru, sama halnya dengan novel yang berisi bahwa Maryam memiliki suami, novel ini kemudian dilarang untuk
diterbitkan oleh para kaum nasrani, karena novel ini berbahaya bagi
ke-orisinalitas nabi Isa as sebagai anak Tuhan. Jika Maryam memiliki suami
berarti nabi Isa bukanlah Anak Tuhan, makanya Novel tersebut sangat
berbahaya. Logika yang dipakai oleh
orang-orang nasrani sama dengan halnya logika yang digunakan para ulama dalam
hal nabi tidak bisa membaca dan menulis sebagai alasan keaslian al-qur’an.
Lalu beralih kepada kata iqra’ pada ayat pertama yang
turun. Beliau mengatakan ada beberapa macam iqra’ yang ada pada beberapa ayat tersebut. Beliau
membaginya menjadi empat tipe iqra; iqra’ pertama, kedua, ketiga dan
keempat. Iqra’ pertama dan kedua bisa
dikatakan sebagai ilmu hushuli sedangkan iqra ketiga dan keempat sebagai ilmu
huduri. Iqra pertama dan kedua juga erat kaitannya dengan metode memperoleh
pengetahuan yang diterapkan barat, dan iqra’ ketiga dan keempat adalah metode
memperoleh pengetahuan yang diterapkan timur.
Ketika seseorang baru sampai pada iqra pertama dan
kedua, apa yang didapatkannya tidaklah seberapa, masih pada pengetahuan yang
tidak sampai kepada hati, masih kering akan spiritualitas, apa yang didapatkan
hanyalah pengetahuan yang belum tentu sampai kepada pengamalan. Lalu ketika
beralih kepada iqra ketiga dan keempat, untuk masuk kepada kedua iqra’ ini
membutuhkan kebersihan jiwa, sehingga masuk pada iqra ketiga dan keempat ini
bukanlah hal sembarangan. Masuk kepada kedua iqra ketiga dan keempat akan
membawa kita kepada lautan makna yang menambah spiritualitas.
Lalu metode apa yang seharusnya kita kembangkan untuk
mencapai keilmuwan yang perpect ? kaitannya dengan keempat macam iqra’ di atas.
Bahwa fakhruddin ar-Razi memberikan majma’atul
Bahrain dalam kitab tafsirnya, yaitu berkumpulnya dua lautan, lautan itu
adalah lautan eropa dan lautan Persia. Lautan eropa dinisbahkan kepada iqra
pertama dan kedua atau erat kaitannya dengan ilmu hushuli, sedangkan iqra
ketiga dan keempat dinisbahkan kepada laut Persia atau erat kaitannya dengan
ilmu hudhuri. Maka metode yang perlu dikembangkan adalah yang sesuai dengan majma’atul
Bahrain , yaitu kombinasi antara metode barat dan timur, antar iqra pertama
dan kedua dengan iqra ketiga dan keempat. Kombinasi antara husuli dan huduri,
magribi dan masyriqi. Dengan penggabungan kedua metode ini maka memahami
al-Qur’an akan sangat dahsyat.
Lalu pak prof. berpesan kepada para mahasiswa untuk
menjadi ashabul lail, mahasiswa harus menjadi temannya malam, hiduplah
di malam hari, karena jarak antara Tuhan dan hambanya begitu dekat ketika malam
hari. Lihatlah sholat, sholat lebih banyak di siang hari ataukah di malam hari?
Pelantikan rasul pun di malam hari, ayat al-qur’an turun untuk pertama kalinya,
kebanyakan ayat turun di malam hari, dan
ketika malam hari jiwa kita lebih bersih. Maka jadikanlah malam hari sebagai
malam-malam untuk menambah keilmuwan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar