Selasa, 08 Agustus 2017

Lihatlah Sejarah, tapi Hindari Salah Kaprah Pada Sejarah



Seminggu lebih  waktu yang singkat bila digunakan untuk bersenang-senang, tetapi waktu yang cukup lama jika  disi dengan hal-hal positif, hal yang membawa keberkahan pada diri. Karena alangkah merugi, jika tak ada apapun yang bisa kita pelajari setiap hari.

Itulah yang kemudian membuatku mulai merangkai kata, menelisik satu ayat kitab suci, berharap inspirasi dan hal-hal baru terserap oleh pikirku. Bukankah al-Qur’an adalah kitab petunjuk? Petunjuk itulah yang kuharapkan muncul menjadi sikap dalam kehidupan ini.

Sebuah ayat dari surah ar- Rum, tepatnya ayat ke 42 yang berbunyi,
   
Katakanlah (Muhammad), “bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”

Sebuah ayat yang mengajak untuk berpetualang, bepergian pada bumi Allah ini, bepergian bukan sekedar bepergian, tetapi bepergian untuk belajar, untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang-orang dahulu, yang ternyata banyak dari mereka mempersekutukan Allah.

Aku mulai berfikir, memang apa yang terjadi kepada mereka? kenapa banyak dari mereka mempersekutukan Allah, apakah itu sebuah kesalahan?

Baiklah, mari menelusuri penjelasan Syaikh Wahbah al- Zuhaili, terkait ayat ke 42 surah ar-Rum ini. sebelum beranjak lebih jauh, Surah ar-Rum termasuk ke dalam surah makiyah dengan jumah ayat sebanyak 60 ayat. Berbicara makiyah, maka pembahasan-pembahan yang ada pada surah ini menyangkut tentang akidah, iman, tauhid, balasan di akhirat dan sebagainya. Bisa disimpulkan ayat ke 42 surah ar-Rum ini pun demikian, terkait dengan pembahasan-pembahasan ini.

Semisal mempersekutukan Allah, itu berarti tidak bertauhid, ini menunjukkan banyak dari orang-orang terdahulu tidak bertauhid, menunjukkan pula banyak dari mereka menolak rasul-rasul Allah, yang membawa ajaran tauhid. Apakah benar demikian? Biarkan tafsir Syaikh Wahbah al-Zuhailli berbicara.

Syaikh Wahbah al- Zuhaili mengelompokkan ayat ini ke dalam ayat terkait balasan bagi para Mufsidin (perusak) dan orang-orang kafir serta balasan bagi orang-orang yang beriman. Menurut syaikh, ayat ini terkait perintah Allah kepada rasulullah untuk menyampaikan kepada orang kafir, para perusak dan orang-orang musyrik untuk bepergian ke negeri  mereka lalu melihat dengan penuh perhatin, melakukan penelitian  mengenai apa yang menimpa umat-umat terdahulu, bagaimana Allah menghancurkan mereka karena kekafiran dan kejelekan amal mereka.

Apa yang bisa kita dapatkan dari penjelasan ini? kita bisa melihat bagaimana cara Allah menyadarkan orang-orang kafir, mereka diminta untuk menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang terdahulu dihancurkan, yang menunjukkan bukti kebenaran dan kekuasaan Allah. Mereka diminta melihat dan meneliti sejarah.

Tepat sekali, sejarah, ya, memang benar demikian, sejarah adalah sesuatu yang penting bagi kita. Sejarah menjadi ajang pembelajaran bagaimana menghadapi kehidupan. Sejarah menjadi acuan kesalahan yang dilakukan orang-orang terdahulu tidak kita lakukan, dan kebaikan mereka bisa kita praktikkan. Nilai-nilai kehidupan, kebaikan, kesopanan, adab, itulah yang kita tarik dari sejarah, bukan malah terpaku pada aksesoris-aksesoris manusia masa lalu, lalu kita hiaskan pada diri. Bukan itu yang kita hiaskan, yang penting adalah menghiaskan nilai-nilai kehidupan, kebaikan, kesopanan, dan adab-adab yang baik dari manusia masa lalu. Intinya, mari melihat sejarah, dan jangan salah kaprah terhadap sejarah.

Sumber Foto:
http://cdn2.tstatic.net/travel/foto/bank/images/ilustrasi_20170122_200218.jpg



Lulus Abstrak Paper


Apa yang aku bisa ceritakan hari ini? tanyaku membuka tulisan malam ini. Dunia menulis sejatinya akan berjalan jika penulis memiliki bahan untuk ditulis. Lantas, bagaimana mau menulis jika setahi kuku bahan hasil bacaan tidak ada di kepala. Karena itu, membaca merupakan aktifitas tak terpisahkan bagi seorang penulis.

Lain lagi jika  kita mulai menelisik apa itu membaca sebenarnya? Pikir sempit, membaca dipahami hanya sebagai aktifitas merekam susunan kata yang tertuang dalam lembar demi lembar kertas. Berbeda, jika melakukan perluasan pikir, maka membaca tidak terbatas merekam kata, tetapi juga merekam alam, merekam kehidupan yang dijalani.
Demikian, terjawablah pertanyaanku di atas, yang bisa kuceritakan adalah hasil bacaanku terhadap kehidupan, tak mesti kehidupan orang, kehidupan pribadi juga sudah sangat menarik untuk diceritakan.

Pagi ini, saat mentari mulai menanjak pelan, aku masih bersantai ria merebahkan badan sembari mengamati status dengan berbagai topik. Mulai status terkait negara yang tertulis dalam berita-berita online, sampai status singkat para jomblowan dan jomblowati yang bangga dengan kejombloannya, bergantian mengisi laman-laman facebookku.

Kala itu juga, perbincangan terbangun antar penghuni kamar pojok lantai tiga, asrama Haji Muhajir. Bagi kami bertiga, sepertinya hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu, menunggu pengumuman lulus abstrak untuk konferensi jurnal Fikrah di STAIN Kudus. Ngomong ngalur ngidul entah kemana, tak tentu topik, yang penting ngomong sudah, sampai akhirnya ngalur ngidul itu dihentikan sebuah link grup whatsapp yang meminta  diklik, untuk melihat nama-nama peserta yang lulus seleksi abstrak.

Jrengg….jreng….jreng….kuota terbatas, bahkan sekarat yang menopang pintarnya HPku, aku gerus untuk menyusup, menyusuri link itu. Hingga teriakan kami pecah, melihat rangkaian kata yang menyimbolkan teman kami, ya di lulus, tidak tanggung-tanggung, namanya di bawah nama ketua tertinggi kampus kami. Sungguh kejutan, ternyata ketua kampus ku ikut juga.
Teriakan demi teriakan akhir pecah kembali, setelah namaku dan nama temanku yang lain turut terpampang pada pengumuman online itu. Hah…..meski Cuma baru lulus abstrak, tapi cukup bahagia, apalagi lulus paper dan ikut konferensi. Semoga aja ya kawan.

Lulus abstrak dan hanya dikasih waktu satu minggu untuk membuat paper, lumayan berat bagiku yang berada di masa-masa peracikan skripsi, belum dapat pembimbing lagi, tambah deh otak ini diputar keras, fisik ini terus digenjot untuk mensukseskan paper ini. semoga berhasil guys, go to kudus, be the presentator of paper with the title “ Sosial Media Sebagai Corong Dakwah Millennial”. (3L/07/08/17)


sumber foto:
http://www.tobasatu.com/wp-content/uploads/2015/12/GITA-GUTAWA.jpg

Kamis, 27 Juli 2017

Selalu ada Konsekuensi dan Hukum Timbal Balik



Usai berfikir kembali terkait jadwal kesibukan sehari-hari, otomatis apa yang sudah aku biasakan sehari-hari harus mengalami penyesuaian. Bisa tidak masuk dalam kesibukan sehari-hari, bisa juga hanya bergeser waktu pelaksanaannya. Sama halnya dengan aktivitas olahraga maupun menulisku. Kalau beberapa hari sebelumnya, setelah menuntaskan aktivitas usai shubuh, aku mulai mentadabbur al-Qur’an, sekarang berbeda, Usai Aktifitas Shubuh, aku langsung berolahraga, kemudian memulai aktifitas mentadabbur al-Qur’an setelahnya.

Terasa sangat berbeda, satu minggu lamanya tak merasakan Flu, sekarang ia datang, karena aku memilih tidur lebih awal dan bangun lebih awal. Badan pun terasa sedikit tidak enak. Tetapi, inilah sebuah hal yang perlu terus kita lakukan, selalu menyesuaikan segala kesibukan untuk kehidupan yang lebih baik.

Itulah Sedikit kisahku mengawali tulisan pagi ini, entah apa yang membuatku berhenti pada ayat ke 126 dari surah Taha. Aku juga belum tahu, pelajaran atau inspirasi apa yang aku akan dapatkan pada ayat ini. ayatnya  berbunyi:
t   
Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".

Membaca terjemahan ayat ini, aku seperti melihat “konsekuensi” atau juga timbal balik. Jika engkau berbuat kebaikan, maka orang akan berbuat baik kepadamu. Jika engkau menyayangi  orang, maka orang pun akan menyayangimu. Kalau menurut ayat ini, engkau telah didatang ayat al-Qur’an, sayangnya, engkau melupakannya, maka, engkau pun dilupakan.

Ini masih samar-samar, pertanyaan yang muncul apa perlu atau pentingnya tidak melupakan ayat yang diberikan dan apa pentingnya jika kami dilupakan?
Khazanah wawasan kita bisa saja menebak maksudnya, hanya saja, pertanyaan ini penting untuk diajukan, untuk menjadi ihwal rasa penasaran dan motivasi menyelami ayat ini. (Baca Juga: Meragulah! Jangan Mudah Percaya )

Alangkah baiknya, kita melihat bagaimana Syaikh Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat ini. Sebelum masuk ke penafsiran, menarik penjelasan syaikh terkait surat Thaha, kata thaha dijelaskan adalah salah satu nama dari nama-nama Rasulullah saw, yang menjadi penghormatan, dan menjadi hiburan atas apa yang menimpa nabi disebabkan keberpalingan dan penolakan kaumnya. Ya itulah “thaha”.

Dalam tafsir Wahbah az-Zuhaili, ayat ini termasuk ke dalam ayat-ayat yang menceritakan tentang Nabi Adam as. Dijelaskan sebagaimana kisah adam as, yang tergoda syaithan hingga jatuh ke bumi, lalu diberikan petunjuk oleh Allah untuknya dan untuk kaumnya. Petunjuk ini kemudian nyatanya tidak diimani bahkan diingkari. Keingkaran dan ketidakpercayaan mereka terhadap kitab seperti mereka melupakannya. Konsekuensi, di hari akhir kelak mereka dikumpulkan dalam keadaan buta. Kebutaan yang menimpa mereka menimbulkan pertanyaan, kenapa sekarang mereka buta sementara dulu mereka melihat. Allah pun menunjuk ayat ini, ayat ke 126, kebutaan yang menimpa kalian itu disebabkan karena kalian melupakan ayat-ayat yang telah datang kepadamu, hingga kamu pun dilupakan, artinya diazab.

Sebagaimana, aku sebutkan diawal, ini terkait konsekuensi atau hukum timbal balik. Pertanyaannya apa inspirasi atau pelajaran yang bisa kita ambil? Saya berkesimpulan, hukum timbal balik itu sendiri, sebagai manusia kita harus selalu menyadari adanya hukum timbal balik dalam berkehidupan.

Jika kebaikan yang kita tanam, maka kebaikan pun yang akan kita panen. Maka jangan berharap manisnya madu kehidupan jika kejahatan yang terus anda kobarkan.  Kala buah kejahatan anda sudah terasa dalam kehiduan, jangan membingungkan diri, karena tak lagi menikmati manisnya hidup.




Rabu, 26 Juli 2017

Meragulah! Jangan Mudah Percaya



Musyawarah Akbar semalam telah membuatku cukup meragu untuk menulis pagi ini.  Aku berfikir keras bagaimana merubah jadwal, setelah seminggu membiasakan menulis setiap pagi, rasa-rasanya sudah mulai mendarah daging. Di saat menulis setiap  pagi mulai asyik, kini aku diuji dengan deadline skripsi yang menuntut perhatian dan waktu lebih.

Beberapa menit aku terus berfikir, nulis, tidak nulis, nulis, tidak nulis, nulis, tidak nulis, ah, kegalauan menimpaku untuk menentukan pilihan ini. Lama-lama berfikir akhirnya kuputuskan untuk menulis juga, malahan aku ingin menambah segmen pembelajaranku “satu hari satu hadis”. Cukuplah, ceritaku pagi ini mengawali tulisan.

Pagi ini, mataku tertahan di pojok kanan halaman 471, ada ayat ke 34 dari Surah Ghafir atau al- mu’min, ayat ini berbunyi:
   
dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika Dia meninggal, kamu berkata: "Allah tidak akan mengirim seorang (rasul pun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu.

Sekilas melihat terjemahan ayat ini, aku terjelaskan bagaimana prilaku orang  dahulu terhadap Yusuf as, padahal Yusuf as sudah membawa keterangan-keterangan tapi tetap saja diragukan. Setelah wafat pun, bentuk keraguan terhadap Yusuf as, adalah pernyataan bahwa  tidak akan diutus rasul setelah  Yusuf as.

Kita disodorkan bayangan demikian, tentu, ini tidak akan lengkap kalau kita tidak menelusuri lebih dalam, dengan cara melihat penafsiran ayat ini. karena itu, mari kita lihat penafsiran syaikh kita Wahbah az-Zuhaili.

Dalam tafsirannya, kita terjelaskan Nabi Yusuf as, datang dengan mukjizat yang sangat luas untuk menunjukkan kebenarannya, tapi tetap saja diragukan, bahkan tidak diimani. Mereka mengingkari apa yang dibawa Yusuf, dan mengingkari apa yang juga datang setelah yusuf as wafat. 

Orang-orang yang seperti itu disebut sebagai “Musrifin Murtabin”, yaitu orang-orang yang mendebatkan ayat Allah untuk menolaknya, tanpa hujjah dan dalil yang jelas. Mereka memerangi kebenaran dengan kebatilan.

Apa yang bisa petik pelajaran dari  penjelasan ayat ini? melihat bagaimana orang-orang mengingkari kebenaran padahal sudah jelas bukti  di hadapan mereka. kita harus belajar dari kisah ini, jangan sampai kita masuk ke dalam “musrifin murtabin”, orang yang melampaui batas dan meragu.

Jika kita melihat fenomena kehidupan kita saat ini yang berada di era informasi, setiap hari kita dibrondong informasi yang begitu banyak yang bisa saja benar dan salah. Kita harus menyeleksi mana informasi yang benar dan salah. Kita sangat mudah sekali jatuh pada informasi yang tidak benar. ini sangat menyusahkan, dan sangat berbeda dengan dengan kisah yang di atas, dimana Mukjizat sudah mereka lihat di hadapan mereka, tapi tetap mengingkari.

Maka, saat inilah meragu perlu kita lakukan, jangan mudah percaya, sebelum melakukan seleksi ketat dan mendalam. Di saat ini, meragu itu dibutuhkan untuk mendapatkan kebenaran di balik beribu Informasi yang kita baca tiap hari.


Selasa, 25 Juli 2017

Meraih Mimpi Butuh Beragam Cara




Beberapa kali sambungan ayat demi ayat yang kubaca tak karuan, rasa kantuk yang datang dan pergi membuat fokusku hilang. Oh, ingin rasanya segera merebahkan badan. Namun, melawan kantuk serasa perjuangan di medan perang, satu persatu kubaca ayat al-Qur’an dengan pelan, bak menghunuskan bambu runcing di tengah perang geriliya, mati satu sembunyi, mati satu sembunyi, selesai satu ayat terpejam, selesai satu ayat terpejam, hingga dua lembar setiap selesai shalat itu selesai juga.

Sayangnya, kantuk ini terus menghinggapiku, aku akhirnya takluk, tapi bukan takluk setakluk-takluknya. Kurebahkan badan, tak memejamkan mata ini, karena kutahu, memejamkan mata sama saja menghilangkan kesempatanku menulis pagi ini. aku lalu memutar beberapa shalawat yang tersimpan offline di apps youtubeku, sesekali aku sempat terpejam dan bangun kembali. Takut, terlampau terpejam, segera kubuat segelas kopi Lombok, harumnya menohok kekantukan, hingga jelaslah kefokusanku.

Ayat ke 52 dari surah Asyuura menjadi perhatianku pagi ini. sekilas, terlihat ayat ini berbicara mengenai al-Qur’an, ayat ini berbunyi:

   
Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah kitab (al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi kami jadikan al-Qur’an itu cahaya, dengan itu kami memberi petunjuk siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sungguh engkau benar-benar membimbing (manusia) ke jalan yang lurus.

Pertanyaan yang muncul apakah itu ruh? Jika pada terjemahan ayat ini disebutkan ruh yang dimaksud adalah al-Qur’an, ini sejalan dengan penggunaan kata pewahyuan. Namun, jika tidak, maka akan melahirkan berbagai makna terkait ruh. Bukankah ruh dalam khazanah pengetahuan umumnya adalah sesuatu yang menjadikan badan ini hidup. (Baca Juga: Meniru Keluasan Ampunan dan Maaf Tuhan )

Tapi kalau melihat keseluruhan ayat ini, kita melihat pengunaan kata-kata yang lekat dengan al-Qur’an, seperti kitab, pewahyuan, membimbing (menunjuki), istilah-istilah yang sering kita dengan kalau membicarakan al-Qur’an. Baik untuk lebih menjelaskan dan meyakinkan kita, mari kita simak penjelasan Syaikh Wahbah az- Zuhaili terkait ayat ini.

Setelah melihat, bagaimana Syaikh Wahbah az-Zuhaili mengelompokkan ayat ke dalam tema “macam-macam wahyu”, ini sedikit memberikan kejelasan bahwa yang dimaksud dengan ruh di sini adalah al-Qur’an.  Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalam kolom mufradat al-Lughawiyah, bahwa  qur’an itu seperti ruh, wahyu disebut ruh, karena dia menghidupkan hati.

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya,  ayat ke- 51 yang turun untuk menjawab pertanyaan orang Yahudi kepada nabi, apakah ia sudah berbicara dengan Tuhan sebagaimana Musa, dan ayat 51 turun untuk menunjukkan bahwa Musa pun tidak pernah berbicara secara langsung dengan Tuhan. Karena Wahyu turun dengan tiga cara, melalui mimpi, hijab, dan utusan. Kemudian, ayat 52 menegaskan bahwa Muhammad saw pun menerima wahyu sebagaimana para nabi sebelumnya.

Lalu, sebagaimana al-Qur’an membimbing atau memberi petunjuk, maka begitulah seorang rasul tentu memberikan petunjuk, dan Nabi Muhammad saw membimbing kepada jalan yang lurus.  Dijelaskan juga, al-Qur’an membimbing kepada agama yang qayyim, yaitu agama Islam. Penjelasan ini dijelaskan oleh Syaikh Qurtuby.

Pertanyaan yang selalu muncul untuk mengakhiri tulisanku pagi ini adalah “apa yang bisa kita teladani, atau ambil pelajaran?” sedikit yang bisa terjelaskan olehku, namun setidaknya memberikan inspirasi pribadi melihat satu ayat kitab suci.


Ada banyak cara Tuhan mengirimkan kalam-kalam petunjuknya kepada manusia, demi tercapainya kehidupan manusia di rel “Shirathal Mustaqim”. Ini  yang seharusnya kita teladani, untuk mencapai tujuan, cita, ataupun mimpi kita, gunakanlah berbagai cara, dengan catatan, cara-cara tersebut adalah cara yang baik. Seperti ungkapan “banyak jalan menuju Roma”. 

Sumber Foto:
http://image-serve.hipwee.com/wp-content/uploads/2016/02/134-750x422.jpg

Senin, 24 Juli 2017

Meniru Keluasan Ampunan dan Maaf Tuhan



Setelah sehari terbelenggu oleh kelelahan fisik dan terlalaikan oleh Pulau Kapuk, kini, aku mulai lagi melihat satu ayat dari kitab suci Al-Qur’an. Ayat ke 53 dari surah al-Ankabut menjadi sorotanku pagi ini.
Ayat ini berbunyi:

   
Dan mereka meminta kepadamu supaya disegera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan, niscaya datang azab kepada mereka, dan azab itu pasti datang keada mereka  dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya.

Azab, siapakah yang berani meminta diturunkan azab dengan segera? Khazanah pikirku berkata, itu tidak lain adalah orang yang tidak mempercayai utusan-utusan Allah atau kitab-kitab-Nya. Aku memang menduga dalam hal ini, namun, mungkinkah orang yang bertakwa atau orang yang percaya kepada Allah yang meminta diturunkan azab dengan segera? Tidak mungkin.

Dari terjemahan ayat ini saja, kita dapat melihat bagaimana orang yang tidak percaya menantang untuk diturunkan azab dengan segera, tapi segalanya memang sudah ditentukan, dan azab yang mereka inginkan pasti akan datang menimpa mereka, saat mereka tidak menyadarinya.

Baiklah, jangan sampai kita terbawa arus pada penjelasan sementara yang hanya berdasar pada terjemahan. Demikian, mari kita buka tafsiran Syaikh kita, Wahbah az-Zuhaili.

Aku lalu membuka tafsir al-Munir dan mulai membaca dari alasan penamaan surat ini dengan “al-ankabut” yang berarti laba-laba. Aku terjelaskan, surat ini dinamakan al-ankabut untuk menyerupakan orang-orang yang menuhankan berhala  dengan laba-laba, yang mempunyai rumah yang lemah (dhaif). Hal senada dijelaskan juga dalam beberapa ceramah dari Tuan  guru Bajang akan keimanan para penyembah berhala layaknya rumah laba-laba.


Aku berlanjut menuju tafsiran ayat ke 53, ayat ini dikelompok ke dalam ayat-ayat yang terkait tuntutan dari kaum musyrikin, (50-55).  Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat ke 53, tidak jauh berbeda dengan terjemahan yang ada, bahwa azab yang kafir qurays inginkan segera diturunkan kepada mereka adalah perkara hal yang sudah ditetapkan. Seandainya azab tidak direalisasi pada hari kiamat kelak, maka azab itu sangat dekat dan cepat menimpa mereka, dan azab pasti datang saat mereka tidak menyadarinya. Karena setiap azab akan datang (punya waktu), tidak bisa didahulukan ataupun diakhirkan. 

Menarik, selain tafsiran dari ayat ke 53 ini, penjelasan Syaikh Wahbah az-Zuhaili yang lain terkait kelompok ayat ini bahwa, Tuhan tidak langsung memberikan azab pada mereka yang menuntut disegerakannya azab, karena Allah membuka pintu taubat sampai hari kiamat itu tiba.

Hal yang bisa kita teladani adalah Keluasan Ampunan, Lebarnya Gerbang Ampunan dan Pemaafan Tuhan. Bayangkan, jika kita adalah seorang raja atau katakanlah manusia dengan kekuatan, kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah, yang siap mencengkram dan melumpuhkan orang-orang yang tidak patuh, direndahkan dengan permintaan ditimpakan kesengsaraan sebagai bukti kuat dan berkuasanya kita, dengan senang hati kita akan menggeranyangi. Namun, itulah Tuhan, pintu ampunannya selalu terbuka lebar untuk hamba.

Begitulah seharusnya kita bersikap, sejatinya selalu memberikan pintu maaf kepada siapapun yang menyakiti maupun merendahkan kita. sekalipun kita berkuasa dan bertahta kan raja, karena sebagaimana ungkapan ulama, “kerahiman adalah memaafkan disaat memiliki kekuatan besar untuk membalas”.



Sumber Foto:
https://kekisruhan.files.wordpress.com/2009/12/taubat.jpg

Sabtu, 22 Juli 2017

Tak Jadi Nabi Bukan Berarti Kau Tak Terpilih


Seperti pagi-pagi sebelumnya, usai menuntaskan berbagai jadwal pribadi setelah shubuh. Aku mulai mencampur gula dengan beberapa sendok teh kopi Lombok. Aroma dan harum yang dikeluarkan seketika menghilangkan pilek yang menderaku sedari bangun shubuh tadi.

Setelah menyeruput dan menghirup beberapa kali, aku mulai melihat kalam suci al-Qur’an, satu ayat saja pada pojok kanan. Pagi ini, aku fokuskan pandanganku pada ayat ke 52 dari surah Maryam. Jenis ayat yang sama dengan pagi-pagi sebelumnya, ayat yang berbentuk cerita dan pendek, berbunyi;
çm»uZ÷ƒy»tRur `ÏB É=ÏR$y_ ÍqÜ9$# Ç`yJ÷ƒF{$# çm»uZö/§s%ur $|ÅgwU ÇÎËÈ  
Dan kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung (Sinai) dan kami dekatkan dia untuk bercakap-cakap.

Siapakah yang dipanggil dari sebelah kanan gunung Sinai? Dan ada prihal apa, sehingga ia  dipanggil? Masih seputar khazanah pengetahuanku akan Thur, sepertinya ini dekat dengan Nabi Ibrahim as atau tidak Nabi Musa as. Ia kalau tidak salah antara dua nabi ini, Aku tidak terlalu ingat, mana yang benar di antara keduanya.

Kita tidak akan mengerti maksud dari ayat ini, karena ialah potongan cerita, potongan kabar, potongan informasi dari ayat sebelum ataupun sesudahnya. Untuk itu, melihat ayat sebelum dan setelahnya pasti  diperlukan dalam hal ini.
Sebelumnya, menarik untuk dipertanyakan, seperti apa panggilan tersebut, apakah melalui suara dzohir atau suara yang terdengar di dalam bathin yang terpanggil saja.

Baiklah, mari kita lihat penafsiran syaikh kita, Wahbah az- Zuhaili. Sekilas saja melihat penafsiran Wahbah az-Zuhaili, sudah terpampang tema besar, yang mengelompokkan ayat ke 52 bersama ayat ke 51 dan 53, pada tema kisah Musa as. Demikian, tidak lain yang dipanggil dari sebelah kanan gunung Sinai adalah Nabi Musa as. Panggilan Allah itu terkait kedudukan yang diberikan kepadanya sebagai “Kalimullah” dan diturunkannya kitab taurat. Ia didekatkan pada derajat kemuliaan dan kedekatan yang dekat dengan Allah.

Kenapa demikian?  Itu karena Nabi Musa adalah nabi yang ikhlas, bahkan ia termasuk ke dalam Nabi Ulul Azmi (Musa as, Isa as, Ibrahim as, Nuh as, dan Muhammad as). Allah pun merahmatinya, dengan mengabulkan doanya, menjadikan Harun as sebagai nabi, dan bersama-sama menyampaikan risalah kepada fir’aun.

Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari kisah Musa as ini? seseorang yang memiliki derajat kemulian dan teladan yang baik akan menjadi contoh yang terus diceritakan, sebagaimana perintah Allah pada ayat ke 51, kepada Nabi Muhammad untuk menceritakan kisah Musa, tepatnya teladan dan sifat Musa as.

Memang, Musa as adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah sehingga Allah memberinya derajat dan menjaganya. tetapi, tanpa ia mengikhlaskan dan menjaga diri tentu ia tidak akan mendapat kemuliaan. Sama halnya dengan kita, bukankah lahirnya kita di dunia ini sudah memasukkan kita kepada orang –orang yang terpilih. Kita dibesarkan dalam keluarga muslim karena kita terpilih. kita diminta menjadi khalifah di bumi bukan makhluk yang lain, karena kita  terpilih.

Demikian, yang perlu kita lakukan adalah memberikan akal dan hati kita untuk berfikir, jangan sampai kita terjerat pada hal-hal yang membuat kita menyia-nyiakan nikmat keterpilihan kita.

Terakhir, tak menjadi nabi bukan berarti kau tak terpilih, tapi karena Tuhan hanya ingin melihatmu berfikir dan berusaha lebih dari nabi. Meski kau tak akan pernah menjadi nabi atau mendapatkan risalah kenabian.  


Jumat, 21 Juli 2017

Sedikit Tapi Konsisten




Bisik- bisik kemalasan mulai membiusku, mencoba mematikan semangatkua menulis tiap pagi. Fisik dihempas kelemahan dan keletihan dijadikan alasan, “sudahlah lim, tidur saja pagi ini”, bisiknya kira-kira seperti itu.

Ah, sudah berapa kali aku terjatuh di lubang yang sama, bisik sesat yang membuatku meninggalkan aktifitas melatih menulis. Tak ingin terjerembab dalam diplomasi kotor kemalasan, kubuka kitab suci al-Qur’an, dan mulai melirik tajam pojok kiri. Aku menemukan sebuah ayat pendek, ayat ke 51 dari Surah al-Qasas, yang  berbunyi;
   
Dan sungguh, kami telah menyampaikan perkataan ini (al-Qur’an) kepada mereka agar selalu mengingatnya.

Ayat pendek ini memunculkan pertanyaan, Kata qaul, kalau kita llihat terjemahannya adalah perkataan, perkataan itu adalah al-Qur’an dituliskan seperti itu pada terjemahan ayat pendek ini.

Jika qaul  dimaksudkan adalah al-Qur’an, lalu siapakah yang disampaikan al-Qur’an dan siapa yang menyampaikan al-Qur’an, dan untuk apa disampaikan al-Qur’an. Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, aku hanya memiliki bayangan singkat.

Kalau kita bertitik pada sejarah yang kita dapatkan sedari dulu, kita tahu al-Qur’an adalah kitab yang turunkan kepada Nabi Muhammad, Nabi terakhir, yang ditunjuk untuk menyampaikan al-Qur’an, untuk memperbaiki akhlak manusia. karena itu, tidak lain, al-Qur’an disampaikan untuk kaum Nabi Muhammad saw, dan Nabi Muhammad sendiri yang menyampaikannya, karena begitu penting al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan.

Tapi ingat, di ayat tersebut menyebutkan kata “kami” yang  telah menyampaikan al-Qur’an, di sini Tuhan pun masuk, manusia pun masuk, karena menggunakan kata kami. M. Quraish Shihab menyatakan demikian, penggunaan kata kami menunjukkan keterlibatan manusia.

Daripada terlampau mengawang, aku mulai membuka lembaran tafsiran Syaikh kita, Wahbah az-Zuhaili terkait ayat ini. Syaikh, mengelompokkan ayat ini bersama ayat 48-51 ke dalam ayat yang berkaitan dengan pendustaan atau pengingkaran penduduk Makkah atas al-Qur’an dan risalah yang dibawa oleh Nabi.

Dari tema saja, kita sudah bisa mengandaikan, bahwa penyampai atau pembawa al-Qur’an itu adalah Muhammad, disampaikan kepada  penduduk Makkah, dan al-Qur’an sudah sampai kepada penduduk makkah , tapi mereka mendustakan.

Melihat tafsiran ayat ini, bahwa al-Qur’an telah diturunkan secara bertahap kepada orang qurays, yang menunjukkan kepedulian, menyesuaikan waktu dan tempat, agar dapat mengambil kebaikan dari al-Qur’an, maka berimanlah kepada al-Quran, kepada yang menurunkan dan diturunkan.

Hal yang bisa kita pelajari dari setelah membaca tafsiran ayat ini adalah kebaikan, kebenaran, hendaknya diinformasikan, diberikan secara bertahap tidak sekaligus. Sekalipun sesuatu yang disampaikan baik, tetapi jika terlalu banyak atau sekaligus dalam satu waktu, itu  tidak baik. Kita lihat sendiri, bagaimana al-Qur’an yang dipenuhi dengan pedoman hidup dan kebaikan  disampaikan secara bertahap, toh, tetap banyak didustakan oleh orang Qurays. Kemudian, tidak hanya  terkait menyampaikan kebenaran atau kebaikan, tetapi melakukan kebenaran dan kebaikan juga harus bertahap.

Ini menunjukkan pula kontiunitas, konsistensi, atau keistiqamahan, adalah kunci diterimanya apa yang disampaikan dan tercapainya tujuan akhir dari kebaikan yang kita lakukan. Ini menjawab kemalasan yang terbisik saat akan memulai tulisann ini. pada akhirnya, aku ingin menutup tulisan ini dengan ungkapan “Istiqamah lebih baik dari seribu karamah”.