Selasa, 25 April 2017

Review IX: Pancasila Tengah Dari Teokrasi dan Sekularisme


Sub Bab IX: Yang Terbaik Berada di Tengah

Gus Dur menjelaskan bahwa ilham dari judul sub bab di atas adalah jargon  “sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah”, walaupun demikian, hal ini digunakan untuk mengupas sebuah buku dari tokoh Syiah Dr. Musa al-Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan”.

Asumsi awal jalan tengah pada akhirnya cenderung mengambil jalan sendiri; tidak ingin terlalu dini menyimpulkan, Gus Dur kemudian ingin melihat buku tersebut dari pandangan sejarah hidup peradaban dunia.

Bangsa kita cenderung menganggap diri Independen, padahal tidak demikian. Berbeda dengan Australia yang memang dominion Inggris, tetapi memiliki independensi.

Gus Dur melihat bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpangan. Arnold Jacob Tonybee dalam bukunya “Study of History” menyebut dua mekanisme sejarah peradaban manusia; yaitu tantangan dan respon. Tantangan yang berat tidak melahirkan jawaban yang memadai. Kalau tantanganya ringan, seperti daerah aliran sungai, banyak cerita yang akan kita dapat; seperti peradaban Nil, Eufrat, Tigris dan sebagainya.


Pancasila berada di tengah-tengah, karena kita menolak teokrasi dan sekularisme. Adapun Gus Dur kemudian menyebut buku Dr. Musa Al-Asy’ari itu adalah upaya menyatukan kebenaran agama dengan ilmu sekuler. 

Sumber Foto: 
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/e/e2/Garuda_Pancasila,_Coat_Arms_of_Indonesia.jpg

Review VIII: Indonesia Tonjolkan Etika Islam Bukan Ideologi (negara) Islam


Sub Bab VIII: Islam, Perjuangan Etis atau Ideologis?

Iya, ya, Islam itu perjuangan etis atau ideologis?

Gus Dur mengatakan penting untuk menafsirkan Islam secara benar dan moderat, Islam yang membawa  pesan kedamaian. Ayat “wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin” QS. Al- Anbiya (21): 107, ditafsirkan Gus Dur bahwa Muhammad membawa pesan persaudaran kepada manusia. kata rahmat dekat dengan rahim, hingga diartikan saudara, adapun alamin diartikan manusia oleh Gus Dur.

Adapun kata daulah yang banyak diartikan negara, tidak dikenal oleh al-Qur’an dalam artinya yang seperti itu. Al-Qur’an mengenal kata daulah yang berarti peredaran harta. Jadi, yang ada adalah sistem ekonomi bukan sistem negara; hingga disimpulkan Islam hanya menekankan fungsi bukan bentuk.


Di Indonesia sendiri , menjadikan Islam sebagai ideologi akan membuat non-muslim menjadi warga negara kelas dua.  Padahal Indoesia tanpa Islam sebagai ideologi negara sudah memberikan keseimbangan; karena itu yang menonjol adalah etika Islam bukan Ideologi Islam. Adapun pada tataran pandangan masyarakat boleh-boleh saja, asal tak menjadi ideologi negara.

Sumber Foto: https://iinparlina.files.wordpress.com/2012/04/bekerja.jpg

Review VII: Netralitas Perawat Pluralitas


Sub Bab VII: NU dan Negara Islam (II)

Bisa dipastikan sub bab ini masih berkaitan dengan pandangan NU terhadap negara Islam, karena kita sudah mengetahui pandangan NU terhadap negara Islam pada sub “NU dan Negara Islam I”.
Gus Dur pada sub  bab ini bercerita tentang pengalamannya berdialog mengenai “Negara Islam” di Sulawesi Selatan, dimana sekelompok orang masih kuat ingin mendirikan negara Islam, karena pengaruh Kahar Muzakkar . Gus Dur menjawab bahwa Negara Islam tidak mesti didirikan, hal ini membuat Gus Dur disebut diktator.
Tapi bagi Gus Dur, ini bukan diktator, toh Gus Dur mau berdialog dan tak melarang orang berpaham harus membentuk Negara Islam.
Menurut Gus Dur, pemahaman seperti ini diciptakan oleh rendahnya pengetahuan agama dan kekhawatiran terhadap modernisasi, sehingga cenderung ingin melakukan hal-hal institusional. Bagi Gus Dur sikap kita harus netral untuk merawat pluralitas bangsa. Tanpa netralitas, maka Repuplik Indonesia tidak akan terwujud.
Nahdlatul Ulama sendiri untuk menjaga Republik Indonesia melakukan resolusi jihad 22 Oktober 1945, bahwa muslim wajib mempertahankan wilayah Republik Indonesia; ditambah lagi munculnya Markas Besar Ulama Jawa Timur.  Sejarah kita membuktikan bahwa Islam berperan menjaga NKRI dari berbagai rombongan yang mengajukan tegaknya negara Islam.
Gus Dur menyebut muslim Indonesia sebagai muslim statistik yang tidak bijaksana jika memaksakan Negara Islam atas mereka . NU tidak melakukan pemaksaan terhadap Negara Islam karena yang esensial adalah akhlak.

Sumber Foto: http://zulhasan.com/wp-content/uploads/2015/09/pluralitas.jpg


Senin, 24 April 2017

Review VI: Negara Islam Tak Mesti Ada, Yang Mesti Ada Masyarakat Islami


Sub Bab VI: NU dan Negara Islam (I)
Melihat judul sub bab kali ini, seperti biasa pikiran saya langsung meraba-raba maksud dari sub bab  ini: Nu dan Negara Islam (I). Bisa jadi maksud dari sub ba ini adalah mengenai bagaimana pandangan NU terhadap negara Islam? Apakah ormas NU memiliki konsep mengenai negara Islam?

Agar tidak penasaran, kita masuk saja ke dalam pembahasan. Benar sekali, bahwa ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Gus Dur mengenai respon atau reaksi NU terhadap gagasan Negara Islam. Menurut Gus Dur hal tersebut menarik untuk diketahui.

Hal menarik tersebut terjadi pada Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1935. Ada pertanyaan yang muncul, apakah wajib bagi muslimin membela kawasan hindia belanda yang diperintah oleh non-muslim? Para ulama pada waktu itu menjawab harus, disebabkan dua alasan: pertama, muslimin bebas atau merdeka dalam beribadah. Kedua, karena dahulu ada kerajaan Islam di wilayah hindia belanda.

Menurut Gus Dur hal ini menguatkan pendapat Ibnu taimiyah yang mengatakan pemimpin berbilang; ini sesuai juga dengan ayat QS. Al-Hujurat (49): 13, bahwa perbedaan manusia untuk saling mengenal. Bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.

Maka sudah dipastikan, menurut NU tidak perlu didirikan negara Islam; karena menurut Islam tidak mesti mendirikan negara agama, yang terpenitng Islam berbicara kemanusiaan secara umum. QS. Al-Baqarah (2): 208 (udkhulu fi silmi kaffah) menurut Gus Dur menunjukkan kewajiban menengakkan ajaran kehidupan yang tak terhingga.

Lalu, adanya argumentasi, bahwa orang yang tidak berhukum dengan kitab suci Allah atau hukum Allah adalah dzalim dan kafir, bagi Gus Dur itu bukan berarti mewajibkan pendirian negara Islam, menurut Gus Dur Islam tidak terikat negara, tanpa undang-undang atau hukum negara, masyarakat bebas menjalankan hukum Islam.

NU jelas tidak memperjuangkan NII karena heteroginitas yang dimiliki Indonesia; menjadikan negara Islam tidak penting, tetapi mejadikan masyarakat yang menjalankan ajaran Islam itu yang terpenting.

Bagi Gus Dur mendirikan negara agama adalah utopia; karena antar mazhab saja dalam negara Islam saling tolak, apalagi di sebuah bangsa yang heteroginitas tinggi, bagaimana dengan yang non muslim, abangan, jadi kalau dipaksakan, yang akan terjadi hanyalah pemberontakan.

Sumber Foto: http://www.an-najah.net/wp-content/uploads/2016/08/Masyarakat-islam.jpg

Minggu, 23 April 2017

Review V: Orientasi kepemimpinan dalam Islam adalah Kesejahteraan


Sub Bab: Negara dan Kepemimpinan dalam Islam
Judul dari sub bab kelima ini bisa jadi bermakna bagaimana pandangan Islam terhadap negara dan kepemimpinan. Lalu, seperti apakah negara dan kepemimpinan dalam Islam? Berikut kita simak pada paragraf- paragraf sub bab kali ini.
Gus Dur menyebut bahwa ada kedekatan antara kepemimpinan dan konsep negara dalam Islam. Sebagaimana adagium yang pernah dilontarkan Gus Dur bahwa Islam tidak ada tanpa kelompok, kelompok tidak ada tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketundukan.
Ini menunjuk kekuasaan efektif  bagi pemimpin; dalam hal ini presiden , sebagaimana Munas Ulama tahun 1957, presiden RI untuk sementara disebut memiliki kekuasaan efektif.
Perlu diketahui bahwa ketiadaan konsep negara dalam Islam bukan berarti menunjukkan ketiadaan konsep kepemimpinan dalam Islam; dalam Islam, orientasi kepemimpinan adalah menyejahterakan rakyat. Selama itu menyejahterakan rakyat maka tidak penting bentuk ataupun sistem negaranya.
Namun, permasalahan yang sering dihadapi adalah kesejahteraan sering dianggap kepemilikan saja, padahal kesejahteraan bukan hanya terkait itu, tetapi terkait kebebasan bersuara, berpendapat, berorganisasi, dan sebagainya.
Menarik bahwa Gus Dur menyebut bahwa masih ada keresahan dari transisi kepemimpinan negara; seperti yang terjadi di negeri-negeri masyarakat muslim. Hal yang perlu dicatat mengenai terorisme yang disebutkan Gus Dur pada Sub Bab ini, bahwa yang diperlukan untuk memberantas terorisme adalah sosialisasi pengenalan dan identifikasi sebab-sebab terorisme kepada masyarakat.
Kembali kepada kepemimpinan dalam Islam, bahwa salah jika orientasi kepemimpinan hanyalah kekuasaan bukan kesejahteraan.

Sumber Foto: 
https://www.sidogiri.net/wp-content/uploads/2016/06/PPEMIMPIN-DESA.jpg
Follow Me:
FB: Saleem Rahmatullah, IG:@sarma_saleem, Twitter: @saleem_elsasaki, Fanpage: @Sarma Saleem, BBM: D7C5EEF7


Sabtu, 22 April 2017

Review IV: Islam Tak Mesti Jadi Formal Untuk Wujudkan Kesejahteraan Rakyat


Sub Judul: Islam, Negara dan Rasa Keadilan

Beralih kepada sub judu “Islam, Negara dan Rasa Keadilan”, entah seperti apa harus memahaminya. Jelasnya, kalau menerka maksud dari ini, menurutku sub judul ini akan menampilkan rasa keadilan dalam Islam dan Negara. Daripada bingung, ayo kita selami paragraf demi paragraf.

Benar sekali, paragraf pertama pembahasan kali ini langsung mengarah kepada bagaimana kitab suci al-Qur’an mengandung prinsip keadilan, bahkan proseduralnya; seperti yang terkutip (QS. al-Nisa (4): 35. Ayat ini memberikan titik terang bahwa keadilan menjadi titik sentral Islam.

Pada hal prosedural, ayat al-Qur’an QS. Al- Baqarah (2) 282, yang meminta menulis hutang, menjadi bukti kepedulian atau penekanan terhadap rasa keadilan. Setelah membaca lebih banyak, disebutkan pula bahwa keadilan dalam Islam tidak hanya menyangkut prinsip dan prosedurnya, tetapi juga pelaksanaannya.

Sayangny bahwa keadilan-keadilan seperti ini ada pada tatataran mikro, sementara pada tataran makro yang mencakup sistem kemasyarakatan belum ada.

Pada tataran makro, pemimpin negara dituntut untuk  memberikan kesejahteraan pada rakyat dengan mewujudkan keadilan. Keadilan menjadi penting, apalagi melihat realitas  dunia saat ini di negeri-negeri muslim; pemimpin hidup sejahtera sementara banyak penduduknya berada pada garis kemiskinan.

Hal yang penting dalam pembangunan sebuah negara adalah kesejahteraan rakyat bukan mengejar modernitas. Ini dilihat Gus Dur sebagai tantangan; bagaimana tetap bisa memberikan kesejahteraan terhadap rakyat tanpa mematikan pergerakan pemilik modal untuk berkembang.

Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran pada taraf tertentu itu juga bisa disebut penunaian kewajiban Negara. Kalaupun Masyarakat Islam bisa menyejahterakan rakyat, maka Islam pun tanpa harus formal bisa memberikan kesejahteraan.


Sumber Foto:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR-kMp8B9ojDS9sFhACYK40m10gTf-SM2t9k0fa1_-HRPqzBkkGfOTSVKxRzBroxQ61G9Yp4_iseVTNU59Nqa6cgISh_2qtD021kQgXiadXCXrKVAlaO6MvDBygjifirYslDRvBkDv_Zw/s1600/Screenshot_100.jpg

Jumat, 21 April 2017

Review III: Ideologi Negara adalah Satu, Yang Boleh Dua, Tiga, adalah Tafsirannya


Sub Bab III: Negara Berideologi Satu, Bukan Dua

Apa maksudnya negara berideologi satu, bukan dua? Sekilas kita memahami bahwa sebuah negara memiliki ideology atau berideologi satu, bukan dua, bukan juga tiga. Yang menarik, Kenapa Gus Dur menyebut negara berideologi satu, bukan dua? Apakah ini ada kaitannya, atau adakah realitas di masyarakat yang berideologi dua,  tidak berideologi sesuai ideologi negara. Lebih jelasnya mari kita simak tulisan Gus Dur ini “Negara berideologi satu, bukan dua”.

Benar sekali, merambah paragraf pertama, saya menemukan bahwa ada gemerisik  yang ingin menggantikan ideologi  Pancasila dengan Islam. Bagi Gus Dur itu terjadi karena ketidakpahaman atau  salah paham terhadap Pancasila; yang dimengerti sangat sempit, hanya sebatas kekuasaan, padahal tidak demikian.

Saya melihat bahwa ada ketakutan MA untuk mengeluarkan penafsiran yang berbeda dengan pemerintah sebagai penafsir lingkup kekuasaan terhadap Pancasila. Hal ini berdampak kepada masyarakat, yang kemudian melakukan alternatif penafsiran terhadap pancasila, yaitu Islam. Bahkan dinaikkan derajat kepada tingkat ideologi.

Sementara ada juga anggapan yang menyatakan bahayanya mengambil dasar dari Islam, seperti diungkap Lee Kwan Yeu; padahal itu hanyalah alibi agar Indonesia bisa dibagi-bagi.

Gus Dur meminta kita memahami Islam sebagai alternatif Pancasila pada tataran penafsir atau tafsiran saja, tidak sampai kepada wilayah Ideologi. Karena tidak benar menghadapkan sesuatu yang umum (Islam) kepada yang khusus (Pancasila), kalau itu terjadi rasionalitas sudah mati, dibunuh emosionalitas.


Jadi ideologi negara adalah satu, yang boleh dua, tiga, adalah penafsirannya. Pembedaan ini penting karena sangat menentukan masa depan Indonesia. karena itu Gus Dur menekankan pentingnya MA sebagai pelegal tafsiran formal, MA harus kuat dan berani.

Sumber Foto:
https://i1.wp.com/www.pengertianpakar.com/wp-content/uploads/2015/03/pengertian-pancasila-sebagai-ideologi-negara.jpg?fit=720%2C300

Review II: Pendekatan Politis Lebih baik daripada Pendekatan Militeristik


Sub Judul: Islam dan Perjuangan Negara Islam

Sekilas membaca sub judul ini “ Islam dan Perjuangan Negara Islam”, aku terpikir bahwa  Gus Dur akan menerangkan tentang Islam. Kemudian disebutkan “Perjuangan Negara Islam”, bagi saya, karena sebelumnya disebutkan tidak ada konsep Negara Islam, berarti perjuangan Negara Islam yang dimaksudkan di sini adalah perjuangan negara yang sudah memproklamirkan diri sebagai  negara Islam  atau kelompok-kelompok yang bersikeras akan negara Islam.

Benar sekali, pada pembahasan kali ini Gus Dur menjelaskan mengenai apa yang disebut dengan MNLF  (Moro National Liberation Front) dan MILF (Moro Islamic Liberation front); ini merupakan dua buah lembaga di Filipina selatan yang memperjuangakan berdirinya Negara Islam. MNLF dikenal sebagai pemberontak Negara  yang bergerak dengan jalan perang; berbeda dengan MILF yang mengedepanan perundingan daripada kekerasan.

Dua buah lembaga ini mendapatkan gempuran dari Militer, MNLF yang memberontak, MILF kena dampak juga; hal yang dicatat dari semua ini, bahwa pendekatan terhadap orang-orang yang memperjuangkan otonomi daerah ataupun negara Islam, harus memang mendapat perhatian , pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan politis bukan militer. Pendekatan militeristik cenderung mengakibatkan kaum yang tidak separatis akhirnya menjadi separatis, kaum yang moderat menjadi ekstrimis.

Karena itu, hal yang ditekankan Gus Dur bahwa perundingan merupakan langkah terbaik, kekerasan adalah kesia-sian, tidak akan menyelesaikan masalah.  Harusnya mendahulukan pendekatan politis daripada militeristik.

Usai membaca beberapa paragraf, baru aku menyadari bahwa “Negara Islam” menurut sebagian orang adalalah hal yang mesti  diperjuangkan; semisal MNLF, MILF, dan GAM; karena itu hal yang mesti dilakukan adalah menetapkan otonomi daerah dan melakukan pendekatan politis, bukan militeristik, guna menyelesaikan keinginan-keinginan kelompk tersebut.

Sumber Foto: 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLle6JENTJlYePkOa9y6cHSVd1ZY9uj3A3CHG2ErsrewuinoZjEBa8wAwtQ2Ge5-tjlu7vcWl2TuaM1g4XJH4_Wke6xkGobEp0b3SlviXJSH4pRDDBoKQ-NUIJwjmIlDCgQtP2w9FJwkQ/s1600/politik.jpg


Senin, 17 April 2017

"Negara Islam" Tak Kutemukan Konsepmu



Review Buku “Islamku Islam Anda Islam Kita”
Bab II: Islam, Negara dan Kepemimpinan Umat
Oleh: Salim Rahmatullah
A.    Negara Islam, Adakah Konsepnya?

Membaca sub judul ini, muncul pertanyaan dalam benak penulis, perihal apa itu negara Islam? Ya, penulis sepakat dengan pertanyaan, “adakah konsep negara Islam?” jika ada seperti apa konsep negara Islam? Lalu, Indonesia ini apakah negara Islam? Jika bukan, haruskah ia menjadi negara Islam? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar dalam benak. Untuk memuaskan, meredam gelisah pikiran yang muncul karena sederet pertanyaan ini, penulis kemudian menyelami sub bab ini.

Walhasil, penulis mendapati bahwa terkonstruksi tulisan “Negara Islam, Adakah Konsepnya?” adalah karena ada riak-riak gelombang pemikiran mengenai negara Islam yang diajukan, dan adanya justifikasi meninggalkan Islam jika tidak menggunakan konsep pemikiran tentang negara Islam.

Jawaban Gus Dur, tidak ada yang namanya negara Islam, jawaban ini bukan tidak beralasan, berdasarkan Islam sebagai jalan hidup dan pengalaman Gus Dur yang tidak menemukan secara pasti mengenai negara Islam itu.

Lebih dasarnya, dasar jawaban tersebut adalah dua hal; bahwa Islam tidak mengenal bentuk atau sistem suksesi yang jelas. Bisa dilihat sejarah suksesi dari Rasulullah kepada para Khulafaurrasyidin, tabiin, yang nyatanya tidak tetap; ditambah pula tidak jelasnya batas wilayah dari Negara Islam yang dimaksud.

Bagi Gus Dur kejelasan konseptual adalah hal yang penting, jika tidak jelas, maka itu hanya akan merusak, menyakiti gagasan tersebut. Meski ada contoh semisal Republik Islam Iran,tapi itu bukan Islam yang universal, karena hanya mencakup paham syiah saja.

“hingga menjelaslah, konsep Negara Islam hanyalah  Ilusi, hanya milik Pribadi-pribadi”


(Qoute Salim Rahmatullah, terinspirasi kesimpulan Gus Dur tentang Negara Islam; 17/04/2017)

Sabtu, 15 April 2017

Rumah Steven HS Kosong Saat Didatangi HIMMAH NW, HMPS Bima, dan Dompu



Perlakuan Rasisme yang diterima Gubernur Nusa Tenggara Barat terus ditanggapi serius berbagai kalangan. Sabtu Pagi, Rombongan Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan Cabang Jakarta, Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Bima dan Dompu mendatangi kediaman Steven HS, pelaku tindakan rasisme terhadap Gubernur Nusa Tenggara Barat, Dr. TGKH. Muhammad Zainul Majdi, M.A.

Kedatangan rombongan ini disambut pihak keamanan setempat, Bapak Harmanto, dan Bapak Suratmin, selaku BHABINKAMTIBMAS. Usut- diusut Rumah kediaman Steven HS sudah tidak berpenghuni selama 11 tahun, masyarakat dan aparat juga kebingungan membaca berita yang beredar menunjuk lokasi tempat tinggal yang nyatanya sudah tidak berpenghuni.

"sejak tadi malam sudah banyak yang datang, pak Luies,  Mabes Polri, dan lain-lain", ungkap Pak Harmanto. Tetapi semua bernasib sama, karena ternyata rumah Steven HS kosong.
Hal demikian disampaikan oleh Bapak Suratmin yang menerima kedatangan berbagai pihak sampai jam 2 dini hari.
Tak bertemu dengan Steven HS, para rombongan bersama aparat setempat menyampaikan testimoni di depan rumah kosong Steven HS; meminta Steven HS datang ke Gubernur NTB, meminta maaf kepada publik NTB dan Indonesia secara terbuka. 3L