Kamis, 27 Juli 2017

Selalu ada Konsekuensi dan Hukum Timbal Balik



Usai berfikir kembali terkait jadwal kesibukan sehari-hari, otomatis apa yang sudah aku biasakan sehari-hari harus mengalami penyesuaian. Bisa tidak masuk dalam kesibukan sehari-hari, bisa juga hanya bergeser waktu pelaksanaannya. Sama halnya dengan aktivitas olahraga maupun menulisku. Kalau beberapa hari sebelumnya, setelah menuntaskan aktivitas usai shubuh, aku mulai mentadabbur al-Qur’an, sekarang berbeda, Usai Aktifitas Shubuh, aku langsung berolahraga, kemudian memulai aktifitas mentadabbur al-Qur’an setelahnya.

Terasa sangat berbeda, satu minggu lamanya tak merasakan Flu, sekarang ia datang, karena aku memilih tidur lebih awal dan bangun lebih awal. Badan pun terasa sedikit tidak enak. Tetapi, inilah sebuah hal yang perlu terus kita lakukan, selalu menyesuaikan segala kesibukan untuk kehidupan yang lebih baik.

Itulah Sedikit kisahku mengawali tulisan pagi ini, entah apa yang membuatku berhenti pada ayat ke 126 dari surah Taha. Aku juga belum tahu, pelajaran atau inspirasi apa yang aku akan dapatkan pada ayat ini. ayatnya  berbunyi:
t   
Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".

Membaca terjemahan ayat ini, aku seperti melihat “konsekuensi” atau juga timbal balik. Jika engkau berbuat kebaikan, maka orang akan berbuat baik kepadamu. Jika engkau menyayangi  orang, maka orang pun akan menyayangimu. Kalau menurut ayat ini, engkau telah didatang ayat al-Qur’an, sayangnya, engkau melupakannya, maka, engkau pun dilupakan.

Ini masih samar-samar, pertanyaan yang muncul apa perlu atau pentingnya tidak melupakan ayat yang diberikan dan apa pentingnya jika kami dilupakan?
Khazanah wawasan kita bisa saja menebak maksudnya, hanya saja, pertanyaan ini penting untuk diajukan, untuk menjadi ihwal rasa penasaran dan motivasi menyelami ayat ini. (Baca Juga: Meragulah! Jangan Mudah Percaya )

Alangkah baiknya, kita melihat bagaimana Syaikh Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat ini. Sebelum masuk ke penafsiran, menarik penjelasan syaikh terkait surat Thaha, kata thaha dijelaskan adalah salah satu nama dari nama-nama Rasulullah saw, yang menjadi penghormatan, dan menjadi hiburan atas apa yang menimpa nabi disebabkan keberpalingan dan penolakan kaumnya. Ya itulah “thaha”.

Dalam tafsir Wahbah az-Zuhaili, ayat ini termasuk ke dalam ayat-ayat yang menceritakan tentang Nabi Adam as. Dijelaskan sebagaimana kisah adam as, yang tergoda syaithan hingga jatuh ke bumi, lalu diberikan petunjuk oleh Allah untuknya dan untuk kaumnya. Petunjuk ini kemudian nyatanya tidak diimani bahkan diingkari. Keingkaran dan ketidakpercayaan mereka terhadap kitab seperti mereka melupakannya. Konsekuensi, di hari akhir kelak mereka dikumpulkan dalam keadaan buta. Kebutaan yang menimpa mereka menimbulkan pertanyaan, kenapa sekarang mereka buta sementara dulu mereka melihat. Allah pun menunjuk ayat ini, ayat ke 126, kebutaan yang menimpa kalian itu disebabkan karena kalian melupakan ayat-ayat yang telah datang kepadamu, hingga kamu pun dilupakan, artinya diazab.

Sebagaimana, aku sebutkan diawal, ini terkait konsekuensi atau hukum timbal balik. Pertanyaannya apa inspirasi atau pelajaran yang bisa kita ambil? Saya berkesimpulan, hukum timbal balik itu sendiri, sebagai manusia kita harus selalu menyadari adanya hukum timbal balik dalam berkehidupan.

Jika kebaikan yang kita tanam, maka kebaikan pun yang akan kita panen. Maka jangan berharap manisnya madu kehidupan jika kejahatan yang terus anda kobarkan.  Kala buah kejahatan anda sudah terasa dalam kehiduan, jangan membingungkan diri, karena tak lagi menikmati manisnya hidup.




Rabu, 26 Juli 2017

Meragulah! Jangan Mudah Percaya



Musyawarah Akbar semalam telah membuatku cukup meragu untuk menulis pagi ini.  Aku berfikir keras bagaimana merubah jadwal, setelah seminggu membiasakan menulis setiap pagi, rasa-rasanya sudah mulai mendarah daging. Di saat menulis setiap  pagi mulai asyik, kini aku diuji dengan deadline skripsi yang menuntut perhatian dan waktu lebih.

Beberapa menit aku terus berfikir, nulis, tidak nulis, nulis, tidak nulis, nulis, tidak nulis, ah, kegalauan menimpaku untuk menentukan pilihan ini. Lama-lama berfikir akhirnya kuputuskan untuk menulis juga, malahan aku ingin menambah segmen pembelajaranku “satu hari satu hadis”. Cukuplah, ceritaku pagi ini mengawali tulisan.

Pagi ini, mataku tertahan di pojok kanan halaman 471, ada ayat ke 34 dari Surah Ghafir atau al- mu’min, ayat ini berbunyi:
   
dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika Dia meninggal, kamu berkata: "Allah tidak akan mengirim seorang (rasul pun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu.

Sekilas melihat terjemahan ayat ini, aku terjelaskan bagaimana prilaku orang  dahulu terhadap Yusuf as, padahal Yusuf as sudah membawa keterangan-keterangan tapi tetap saja diragukan. Setelah wafat pun, bentuk keraguan terhadap Yusuf as, adalah pernyataan bahwa  tidak akan diutus rasul setelah  Yusuf as.

Kita disodorkan bayangan demikian, tentu, ini tidak akan lengkap kalau kita tidak menelusuri lebih dalam, dengan cara melihat penafsiran ayat ini. karena itu, mari kita lihat penafsiran syaikh kita Wahbah az-Zuhaili.

Dalam tafsirannya, kita terjelaskan Nabi Yusuf as, datang dengan mukjizat yang sangat luas untuk menunjukkan kebenarannya, tapi tetap saja diragukan, bahkan tidak diimani. Mereka mengingkari apa yang dibawa Yusuf, dan mengingkari apa yang juga datang setelah yusuf as wafat. 

Orang-orang yang seperti itu disebut sebagai “Musrifin Murtabin”, yaitu orang-orang yang mendebatkan ayat Allah untuk menolaknya, tanpa hujjah dan dalil yang jelas. Mereka memerangi kebenaran dengan kebatilan.

Apa yang bisa petik pelajaran dari  penjelasan ayat ini? melihat bagaimana orang-orang mengingkari kebenaran padahal sudah jelas bukti  di hadapan mereka. kita harus belajar dari kisah ini, jangan sampai kita masuk ke dalam “musrifin murtabin”, orang yang melampaui batas dan meragu.

Jika kita melihat fenomena kehidupan kita saat ini yang berada di era informasi, setiap hari kita dibrondong informasi yang begitu banyak yang bisa saja benar dan salah. Kita harus menyeleksi mana informasi yang benar dan salah. Kita sangat mudah sekali jatuh pada informasi yang tidak benar. ini sangat menyusahkan, dan sangat berbeda dengan dengan kisah yang di atas, dimana Mukjizat sudah mereka lihat di hadapan mereka, tapi tetap mengingkari.

Maka, saat inilah meragu perlu kita lakukan, jangan mudah percaya, sebelum melakukan seleksi ketat dan mendalam. Di saat ini, meragu itu dibutuhkan untuk mendapatkan kebenaran di balik beribu Informasi yang kita baca tiap hari.


Selasa, 25 Juli 2017

Meraih Mimpi Butuh Beragam Cara




Beberapa kali sambungan ayat demi ayat yang kubaca tak karuan, rasa kantuk yang datang dan pergi membuat fokusku hilang. Oh, ingin rasanya segera merebahkan badan. Namun, melawan kantuk serasa perjuangan di medan perang, satu persatu kubaca ayat al-Qur’an dengan pelan, bak menghunuskan bambu runcing di tengah perang geriliya, mati satu sembunyi, mati satu sembunyi, selesai satu ayat terpejam, selesai satu ayat terpejam, hingga dua lembar setiap selesai shalat itu selesai juga.

Sayangnya, kantuk ini terus menghinggapiku, aku akhirnya takluk, tapi bukan takluk setakluk-takluknya. Kurebahkan badan, tak memejamkan mata ini, karena kutahu, memejamkan mata sama saja menghilangkan kesempatanku menulis pagi ini. aku lalu memutar beberapa shalawat yang tersimpan offline di apps youtubeku, sesekali aku sempat terpejam dan bangun kembali. Takut, terlampau terpejam, segera kubuat segelas kopi Lombok, harumnya menohok kekantukan, hingga jelaslah kefokusanku.

Ayat ke 52 dari surah Asyuura menjadi perhatianku pagi ini. sekilas, terlihat ayat ini berbicara mengenai al-Qur’an, ayat ini berbunyi:

   
Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah kitab (al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi kami jadikan al-Qur’an itu cahaya, dengan itu kami memberi petunjuk siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sungguh engkau benar-benar membimbing (manusia) ke jalan yang lurus.

Pertanyaan yang muncul apakah itu ruh? Jika pada terjemahan ayat ini disebutkan ruh yang dimaksud adalah al-Qur’an, ini sejalan dengan penggunaan kata pewahyuan. Namun, jika tidak, maka akan melahirkan berbagai makna terkait ruh. Bukankah ruh dalam khazanah pengetahuan umumnya adalah sesuatu yang menjadikan badan ini hidup. (Baca Juga: Meniru Keluasan Ampunan dan Maaf Tuhan )

Tapi kalau melihat keseluruhan ayat ini, kita melihat pengunaan kata-kata yang lekat dengan al-Qur’an, seperti kitab, pewahyuan, membimbing (menunjuki), istilah-istilah yang sering kita dengan kalau membicarakan al-Qur’an. Baik untuk lebih menjelaskan dan meyakinkan kita, mari kita simak penjelasan Syaikh Wahbah az- Zuhaili terkait ayat ini.

Setelah melihat, bagaimana Syaikh Wahbah az-Zuhaili mengelompokkan ayat ke dalam tema “macam-macam wahyu”, ini sedikit memberikan kejelasan bahwa yang dimaksud dengan ruh di sini adalah al-Qur’an.  Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalam kolom mufradat al-Lughawiyah, bahwa  qur’an itu seperti ruh, wahyu disebut ruh, karena dia menghidupkan hati.

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya,  ayat ke- 51 yang turun untuk menjawab pertanyaan orang Yahudi kepada nabi, apakah ia sudah berbicara dengan Tuhan sebagaimana Musa, dan ayat 51 turun untuk menunjukkan bahwa Musa pun tidak pernah berbicara secara langsung dengan Tuhan. Karena Wahyu turun dengan tiga cara, melalui mimpi, hijab, dan utusan. Kemudian, ayat 52 menegaskan bahwa Muhammad saw pun menerima wahyu sebagaimana para nabi sebelumnya.

Lalu, sebagaimana al-Qur’an membimbing atau memberi petunjuk, maka begitulah seorang rasul tentu memberikan petunjuk, dan Nabi Muhammad saw membimbing kepada jalan yang lurus.  Dijelaskan juga, al-Qur’an membimbing kepada agama yang qayyim, yaitu agama Islam. Penjelasan ini dijelaskan oleh Syaikh Qurtuby.

Pertanyaan yang selalu muncul untuk mengakhiri tulisanku pagi ini adalah “apa yang bisa kita teladani, atau ambil pelajaran?” sedikit yang bisa terjelaskan olehku, namun setidaknya memberikan inspirasi pribadi melihat satu ayat kitab suci.


Ada banyak cara Tuhan mengirimkan kalam-kalam petunjuknya kepada manusia, demi tercapainya kehidupan manusia di rel “Shirathal Mustaqim”. Ini  yang seharusnya kita teladani, untuk mencapai tujuan, cita, ataupun mimpi kita, gunakanlah berbagai cara, dengan catatan, cara-cara tersebut adalah cara yang baik. Seperti ungkapan “banyak jalan menuju Roma”. 

Sumber Foto:
http://image-serve.hipwee.com/wp-content/uploads/2016/02/134-750x422.jpg

Senin, 24 Juli 2017

Meniru Keluasan Ampunan dan Maaf Tuhan



Setelah sehari terbelenggu oleh kelelahan fisik dan terlalaikan oleh Pulau Kapuk, kini, aku mulai lagi melihat satu ayat dari kitab suci Al-Qur’an. Ayat ke 53 dari surah al-Ankabut menjadi sorotanku pagi ini.
Ayat ini berbunyi:

   
Dan mereka meminta kepadamu supaya disegera diturunkan azab. Kalau bukan karena waktunya yang telah ditetapkan, niscaya datang azab kepada mereka, dan azab itu pasti datang keada mereka  dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya.

Azab, siapakah yang berani meminta diturunkan azab dengan segera? Khazanah pikirku berkata, itu tidak lain adalah orang yang tidak mempercayai utusan-utusan Allah atau kitab-kitab-Nya. Aku memang menduga dalam hal ini, namun, mungkinkah orang yang bertakwa atau orang yang percaya kepada Allah yang meminta diturunkan azab dengan segera? Tidak mungkin.

Dari terjemahan ayat ini saja, kita dapat melihat bagaimana orang yang tidak percaya menantang untuk diturunkan azab dengan segera, tapi segalanya memang sudah ditentukan, dan azab yang mereka inginkan pasti akan datang menimpa mereka, saat mereka tidak menyadarinya.

Baiklah, jangan sampai kita terbawa arus pada penjelasan sementara yang hanya berdasar pada terjemahan. Demikian, mari kita buka tafsiran Syaikh kita, Wahbah az-Zuhaili.

Aku lalu membuka tafsir al-Munir dan mulai membaca dari alasan penamaan surat ini dengan “al-ankabut” yang berarti laba-laba. Aku terjelaskan, surat ini dinamakan al-ankabut untuk menyerupakan orang-orang yang menuhankan berhala  dengan laba-laba, yang mempunyai rumah yang lemah (dhaif). Hal senada dijelaskan juga dalam beberapa ceramah dari Tuan  guru Bajang akan keimanan para penyembah berhala layaknya rumah laba-laba.


Aku berlanjut menuju tafsiran ayat ke 53, ayat ini dikelompok ke dalam ayat-ayat yang terkait tuntutan dari kaum musyrikin, (50-55).  Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat ke 53, tidak jauh berbeda dengan terjemahan yang ada, bahwa azab yang kafir qurays inginkan segera diturunkan kepada mereka adalah perkara hal yang sudah ditetapkan. Seandainya azab tidak direalisasi pada hari kiamat kelak, maka azab itu sangat dekat dan cepat menimpa mereka, dan azab pasti datang saat mereka tidak menyadarinya. Karena setiap azab akan datang (punya waktu), tidak bisa didahulukan ataupun diakhirkan. 

Menarik, selain tafsiran dari ayat ke 53 ini, penjelasan Syaikh Wahbah az-Zuhaili yang lain terkait kelompok ayat ini bahwa, Tuhan tidak langsung memberikan azab pada mereka yang menuntut disegerakannya azab, karena Allah membuka pintu taubat sampai hari kiamat itu tiba.

Hal yang bisa kita teladani adalah Keluasan Ampunan, Lebarnya Gerbang Ampunan dan Pemaafan Tuhan. Bayangkan, jika kita adalah seorang raja atau katakanlah manusia dengan kekuatan, kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah, yang siap mencengkram dan melumpuhkan orang-orang yang tidak patuh, direndahkan dengan permintaan ditimpakan kesengsaraan sebagai bukti kuat dan berkuasanya kita, dengan senang hati kita akan menggeranyangi. Namun, itulah Tuhan, pintu ampunannya selalu terbuka lebar untuk hamba.

Begitulah seharusnya kita bersikap, sejatinya selalu memberikan pintu maaf kepada siapapun yang menyakiti maupun merendahkan kita. sekalipun kita berkuasa dan bertahta kan raja, karena sebagaimana ungkapan ulama, “kerahiman adalah memaafkan disaat memiliki kekuatan besar untuk membalas”.



Sumber Foto:
https://kekisruhan.files.wordpress.com/2009/12/taubat.jpg

Sabtu, 22 Juli 2017

Tak Jadi Nabi Bukan Berarti Kau Tak Terpilih


Seperti pagi-pagi sebelumnya, usai menuntaskan berbagai jadwal pribadi setelah shubuh. Aku mulai mencampur gula dengan beberapa sendok teh kopi Lombok. Aroma dan harum yang dikeluarkan seketika menghilangkan pilek yang menderaku sedari bangun shubuh tadi.

Setelah menyeruput dan menghirup beberapa kali, aku mulai melihat kalam suci al-Qur’an, satu ayat saja pada pojok kanan. Pagi ini, aku fokuskan pandanganku pada ayat ke 52 dari surah Maryam. Jenis ayat yang sama dengan pagi-pagi sebelumnya, ayat yang berbentuk cerita dan pendek, berbunyi;
çm»uZ÷ƒy»tRur `ÏB É=ÏR$y_ ÍqÜ9$# Ç`yJ÷ƒF{$# çm»uZö/§s%ur $|ÅgwU ÇÎËÈ  
Dan kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung (Sinai) dan kami dekatkan dia untuk bercakap-cakap.

Siapakah yang dipanggil dari sebelah kanan gunung Sinai? Dan ada prihal apa, sehingga ia  dipanggil? Masih seputar khazanah pengetahuanku akan Thur, sepertinya ini dekat dengan Nabi Ibrahim as atau tidak Nabi Musa as. Ia kalau tidak salah antara dua nabi ini, Aku tidak terlalu ingat, mana yang benar di antara keduanya.

Kita tidak akan mengerti maksud dari ayat ini, karena ialah potongan cerita, potongan kabar, potongan informasi dari ayat sebelum ataupun sesudahnya. Untuk itu, melihat ayat sebelum dan setelahnya pasti  diperlukan dalam hal ini.
Sebelumnya, menarik untuk dipertanyakan, seperti apa panggilan tersebut, apakah melalui suara dzohir atau suara yang terdengar di dalam bathin yang terpanggil saja.

Baiklah, mari kita lihat penafsiran syaikh kita, Wahbah az- Zuhaili. Sekilas saja melihat penafsiran Wahbah az-Zuhaili, sudah terpampang tema besar, yang mengelompokkan ayat ke 52 bersama ayat ke 51 dan 53, pada tema kisah Musa as. Demikian, tidak lain yang dipanggil dari sebelah kanan gunung Sinai adalah Nabi Musa as. Panggilan Allah itu terkait kedudukan yang diberikan kepadanya sebagai “Kalimullah” dan diturunkannya kitab taurat. Ia didekatkan pada derajat kemuliaan dan kedekatan yang dekat dengan Allah.

Kenapa demikian?  Itu karena Nabi Musa adalah nabi yang ikhlas, bahkan ia termasuk ke dalam Nabi Ulul Azmi (Musa as, Isa as, Ibrahim as, Nuh as, dan Muhammad as). Allah pun merahmatinya, dengan mengabulkan doanya, menjadikan Harun as sebagai nabi, dan bersama-sama menyampaikan risalah kepada fir’aun.

Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari kisah Musa as ini? seseorang yang memiliki derajat kemulian dan teladan yang baik akan menjadi contoh yang terus diceritakan, sebagaimana perintah Allah pada ayat ke 51, kepada Nabi Muhammad untuk menceritakan kisah Musa, tepatnya teladan dan sifat Musa as.

Memang, Musa as adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah sehingga Allah memberinya derajat dan menjaganya. tetapi, tanpa ia mengikhlaskan dan menjaga diri tentu ia tidak akan mendapat kemuliaan. Sama halnya dengan kita, bukankah lahirnya kita di dunia ini sudah memasukkan kita kepada orang –orang yang terpilih. Kita dibesarkan dalam keluarga muslim karena kita terpilih. kita diminta menjadi khalifah di bumi bukan makhluk yang lain, karena kita  terpilih.

Demikian, yang perlu kita lakukan adalah memberikan akal dan hati kita untuk berfikir, jangan sampai kita terjerat pada hal-hal yang membuat kita menyia-nyiakan nikmat keterpilihan kita.

Terakhir, tak menjadi nabi bukan berarti kau tak terpilih, tapi karena Tuhan hanya ingin melihatmu berfikir dan berusaha lebih dari nabi. Meski kau tak akan pernah menjadi nabi atau mendapatkan risalah kenabian.  


Jumat, 21 Juli 2017

Sedikit Tapi Konsisten




Bisik- bisik kemalasan mulai membiusku, mencoba mematikan semangatkua menulis tiap pagi. Fisik dihempas kelemahan dan keletihan dijadikan alasan, “sudahlah lim, tidur saja pagi ini”, bisiknya kira-kira seperti itu.

Ah, sudah berapa kali aku terjatuh di lubang yang sama, bisik sesat yang membuatku meninggalkan aktifitas melatih menulis. Tak ingin terjerembab dalam diplomasi kotor kemalasan, kubuka kitab suci al-Qur’an, dan mulai melirik tajam pojok kiri. Aku menemukan sebuah ayat pendek, ayat ke 51 dari Surah al-Qasas, yang  berbunyi;
   
Dan sungguh, kami telah menyampaikan perkataan ini (al-Qur’an) kepada mereka agar selalu mengingatnya.

Ayat pendek ini memunculkan pertanyaan, Kata qaul, kalau kita llihat terjemahannya adalah perkataan, perkataan itu adalah al-Qur’an dituliskan seperti itu pada terjemahan ayat pendek ini.

Jika qaul  dimaksudkan adalah al-Qur’an, lalu siapakah yang disampaikan al-Qur’an dan siapa yang menyampaikan al-Qur’an, dan untuk apa disampaikan al-Qur’an. Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, aku hanya memiliki bayangan singkat.

Kalau kita bertitik pada sejarah yang kita dapatkan sedari dulu, kita tahu al-Qur’an adalah kitab yang turunkan kepada Nabi Muhammad, Nabi terakhir, yang ditunjuk untuk menyampaikan al-Qur’an, untuk memperbaiki akhlak manusia. karena itu, tidak lain, al-Qur’an disampaikan untuk kaum Nabi Muhammad saw, dan Nabi Muhammad sendiri yang menyampaikannya, karena begitu penting al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan.

Tapi ingat, di ayat tersebut menyebutkan kata “kami” yang  telah menyampaikan al-Qur’an, di sini Tuhan pun masuk, manusia pun masuk, karena menggunakan kata kami. M. Quraish Shihab menyatakan demikian, penggunaan kata kami menunjukkan keterlibatan manusia.

Daripada terlampau mengawang, aku mulai membuka lembaran tafsiran Syaikh kita, Wahbah az-Zuhaili terkait ayat ini. Syaikh, mengelompokkan ayat ini bersama ayat 48-51 ke dalam ayat yang berkaitan dengan pendustaan atau pengingkaran penduduk Makkah atas al-Qur’an dan risalah yang dibawa oleh Nabi.

Dari tema saja, kita sudah bisa mengandaikan, bahwa penyampai atau pembawa al-Qur’an itu adalah Muhammad, disampaikan kepada  penduduk Makkah, dan al-Qur’an sudah sampai kepada penduduk makkah , tapi mereka mendustakan.

Melihat tafsiran ayat ini, bahwa al-Qur’an telah diturunkan secara bertahap kepada orang qurays, yang menunjukkan kepedulian, menyesuaikan waktu dan tempat, agar dapat mengambil kebaikan dari al-Qur’an, maka berimanlah kepada al-Quran, kepada yang menurunkan dan diturunkan.

Hal yang bisa kita pelajari dari setelah membaca tafsiran ayat ini adalah kebaikan, kebenaran, hendaknya diinformasikan, diberikan secara bertahap tidak sekaligus. Sekalipun sesuatu yang disampaikan baik, tetapi jika terlalu banyak atau sekaligus dalam satu waktu, itu  tidak baik. Kita lihat sendiri, bagaimana al-Qur’an yang dipenuhi dengan pedoman hidup dan kebaikan  disampaikan secara bertahap, toh, tetap banyak didustakan oleh orang Qurays. Kemudian, tidak hanya  terkait menyampaikan kebenaran atau kebaikan, tetapi melakukan kebenaran dan kebaikan juga harus bertahap.

Ini menunjukkan pula kontiunitas, konsistensi, atau keistiqamahan, adalah kunci diterimanya apa yang disampaikan dan tercapainya tujuan akhir dari kebaikan yang kita lakukan. Ini menjawab kemalasan yang terbisik saat akan memulai tulisann ini. pada akhirnya, aku ingin menutup tulisan ini dengan ungkapan “Istiqamah lebih baik dari seribu karamah”.


Kamis, 20 Juli 2017

Jangan Lupa Bahagia



Di pagi hari yang mulia, Jumat, ku mulai lagi membaca satu ayat kitab suci. Ku fokuskan pandangan pada pojok kanan lembar al-Qur’an, tepatnya pada halaman 247. Sebuah ayat tertulis di sana, ayat ke 96 dari Surah Yusuf.

Surah Yusuf, seperti sering ku dengar kisah-kisah tentang Yusuf, sebegitu pula khazanah pengetahuanku bergentayangan dalam ruang pikirku. Yusuf sang nabi tampan, Yusuf sang penguasa, sang penafsir mimpi, dan sebagainya.

Hal itu pula, yang mungkin saja termuat dalam dalam ayat 96 Surah Yusuf ini. Demikian adanya, sebagaiamana penamaan surah ini dengan Surah Yusuf, surah ini bercerita tentang Yusuf, pun turunnya surah ini terkait dengan Orang Yahudi yang meminta diceritakan tentang Yusuf as.  Pun demikian, dengan ayat ke 96, yang berbunyi:

   
Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diusapkannya (baju itu) ke wajahnya (yakub), lalu dia dapat melihat kembali. Dia (yakub) berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Mendengar ayat ini, kita teringat bagaimana kita diceritakan, bahwa kebutaan yang dialami Nabi Yakub as karena selalu menangisi Yusuf terobati oleh usapan baju Yusuf.  Baik, karena sudah sering kita mendengar kisah ini, kita seperti sudah paham akan ayat ini, tetapi, sebagaimana selalu  ku katakan di setiap tulisan, bahwa  langkah seperti ini bukan menafikan ayat yang lain, dan memang tanpa melihat ayat sebelum ataupun setelahnya, kita tidak akan memahami dengan baik. Aku hanya melalui satu ayat, mencoba menajamkan rasa penasaranku, hingga perlu membuka berbagai ayat agar memahami satu ayat.

Pertanyaan yang mengusik, siapakah pembawa kabar gembira itu? Kabar gembira apa yang dibawa? Untuk siapa kabar gembira itu, kita sudah tahu, itu tidak lain untuk adalah Nabi Yakub as.

Ibn Katsir menjelaskan, pembawa kabar gembira itu adalah Yahudza, kakak Nabi Yusuf as.  Seorang kakak yang telah membawa baju yang dilumuri darah palsu kepada Yakub as, dan kini ia ingin menebus kesalahannya dengan membawa baju Yusuf as dan diusapkan kepada wajah bapaknya.

Apa kabar gembira yang dibawa Yahudza? Menurutku, kabar gembira itu tidak lain adalah Yusuf as, Yusuf lah yang selama ini ditangisi Nabi Yakub as, kabar masih hidupnya Yusuf as, tentu sangat menggembirakan Nabi  Yakub as. Hal menarik, pertanyaan dari Nabi Yakub as setelah kembali melihat “Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, apa yang dikasih tahu Allah kepada Nabi Yakub, apakah prihal Yusuf as yang masih hidup?

Tidak ingin mengada-ada, mari kita simak penjelasan Syaikh kita, Wahbah az- Zuhaili, mengenai ayat ke 96 ini. Dalam kitab syaikh az-Zuhaili, ayat ke 96 ini ditempatkan bersama ayat 94-98, membahas mengenai pengetahun Yakub as mengenai Yusuf as melalui bau yusuf yang dikuatkan dengan Bisyarah al-basyir.

Beberapa ayat sebelumya menjelaskan ketidakpercayaan anak-anak Nabi Yakub as kepada bapaknya, saat menyatakan Yusuf as masih hidup. Ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan Nabi Yakub menyatakan “Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”, pada ayat ke 96.

Syaikh Wahbah az- Zuhaili, menafsirkan ayat ke 96 ini, sama halnya dengan apa yang telah tertulis sebelumnya, sama halnya dengan penjelasan Ibn Katsir, dan ayat ke 96 ini memang tidak bisa terjelaskan dengan baik tanpa kita melihat ayat sebelumnya. Satu hal menarik, terjelaskan pada kitab syaikh az- Zuhaili, bahwa sebelum Yahudza datang membawa baju Nabi Yusuf as, Nabi Yakub as sudah mencium bau Nabi Yusuf as. Menurut Ar- Razi, inilah salah satu mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Yakub as, dimana ia bisa mencium bau dari jarak jauh.

Ada satu hal lagi yang mungkin menjadi pertanyaan di kepala kita, kok bisa ya, hanya mengusapkan baju, seorang yang buta kembali penglihatannya? Jawaban singkat yang akan kita dapatkan, inilah mukjizat dan kebesaran Tuhan. Tentunya, bagi yang tidak puas, akan terus mencari. Penjelasan dalam kitab Syaikh az- Zuhaili menunjukkan, bahwa ada kebahagian, kesukacitaan yang sangat kuat, setelah diusapkan baju yusuf, sehingga penglihatannya Nabi Yakub as kembali pulih dengan cepat.

Itulah  sedikit kisah Nabi Yakub as dan Nabi Yusuf as, namun hal menarik, yang bisa kita ambil selain hal-hal spiritual, adalah “Kebahagiaan”. Merasa bahagia adalah faktor lain selain dari kebesaran dan Mukjizat Tuhan yang memulihkan penglihatan Nabi Yakub as. Demikian, hendaknya kehidupan ini kita isi dengan kebahagian, mari selalu berbagia, agar kesehatan kita terjaga.

Kalau melirik berbagai artikel mengenai kesehatan, maka kebahagiaan selalu menjadi hal yang disebutkan mempengarui kesehatan.  Sebagaimana penulis lansir dari zonakesehatan.info bahwa” kebahagiaan anda mempengaruhi semua yang anda lakukan, termasuk kesehatan anda sendiri”.

So, Have a good day, agar anda selalu sehat.

Sumber Foto: 
https://farm6.staticflickr.com/5786/23200099845_6e6c8dd74d.jpg
Follow Me:
FB: Saleem Rahmatullah, IG:@sarma_saleem, Twitter: @saleem_elsasaki, Fanpage: @Sarma Saleem, BBM: D7C5EEF7