Ku pejamkan mata
sembari memegang Mushaf Suci, lalu ku ucap dalam hati, membayangkan diriku
berbicara dengan Tuhan, “Jika ada ilham kebaikan yang aku dapatkan setelah
membaca satu ayat kitab suci-Mu, maka itu tidak lain dari-Mu. Jika kesalahan,
kekurangan yang aku tuliskan, maka itu tidak lain dari diri yang fana ini”.
Lalu, kumulai membuka dan memusatkan perhatianku pada pojok kanan lembar suci.
Kutemukan Ayat ke 24
dari surah al-Hajj (22), yang berbunyi:
(#ÿrßèdur n<Î) É=Íh©Ü9$# ÆÏB ÉAöqs)ø9$# (#ÿrßèdur 4n<Î) ÅÞºuÅÀ ÏÏJptø:$# ÇËÍÈ
dan
mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula)
kepada jalan (Allah) yang Terpuji.
Siapakah mereka yang
ditunjuki ucapan-ucapan yang baik dan jalan yang terpuji? Aku mencoba menebak
siapakah mereka yang terkasih ini. Tentu, hanya orang terkasih yang mendapatkan
tuntunan Ilahi ini. setelah ku mulai melihat ayat sebelum ayat ini, tiada lain,
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh yang dimaksudkan ayat ke-24 ini.
Lalu, kumulai bertanya
kembali, seperti apakah perkataan yang baik? Dan seperti apa jalan yang terpuji
itu? Apakah perkataan yang menenangkan dan mendamaikan?, dan jalan yang
terpuji, apakah jalan yang tidak ada cela? Secara umum khazanah pengetahuanku
menyuratkan demikian.
Tafsiran Syaikh
kita, Wahbah az- Zuhaili, setidaknya bisa memberikan penjelasan jelas, dalam
kitabnya ia menjelaskan, bahwa pertama ayat ini dikelompokkan menjadi ayat yang
berkaitan dengan pembalasan terhadap orang kafir dan mukmin, mulai dari ayat
19-24. Perkataan yang baik menurut Syaikh tidak lain adalah kalimat tauhid. Sementara
jalan yang terpuji, tidak lain dimaksudkan adalah Surga. Mereka ditunjukkan
jalan terpuji atau tempat, atau ditunjuki Jalan Tuhan yang terpuji.
Menarik Ibn Abbas,
dikutip juga oleh Syaikh pada kitabnya, bahwa Jalan Allah (Shiratillah) di
dunia adalah Islam.
Inilah nikmat yang
patut kita syukuri, sebagaimana selalu disebutkan dalam dakwah Guru Besar kita,
Tuan Guru Bajang, bahwa nikmat yang patut disyukuri adalah nikmat keimanan. Maka
beruntunglah kita yang dilahirkan oleh keluarga Muslim, meski ada yang bilang “Agama
Warisan”, tapi patut disyukuri, seandainya kita dilahirkan pada kelurga
non-muslim, mungkin kita akan sulit mengecup jalan Tuhan yang diridhoi ini. Perlu
untuk dilakukan adalah terus menggali keislaman kita, agar benar menjadi agama
tanpa embel-embel warisan.
Pada dasarnya semua
kita dilahirkan pada fitrahnya, namun, ibu-bapak kita yang berperan membuat
kita menjadi Yahudi, Nasrani, atau Non-Muslim. Perjuangan anda berat kawan,
semoga terjelaskan dan masuk dalam Shiratillah, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar