Minggu, 18 September 2016

Kezalimanmu Bukan Milik Orang Lain

sumber foto: flickr.com


Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim yang telah kami binasakan, dan kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu (sebagai penggantinya)
(QS. Al-anbiya (21): 11)

Kezaliman memang hanya akan mengundang kemurkaan Tuhan. kezaliman yang diperbuat oleh suatu kaum akan kembali pada diri mereka sendiri; jangan mengira, suatu kejelekan yang dilakukan oleh suatu kaum, tidak kembali kepada mereka; itu sudah menjadi konsekuensi logis ataupun hukum alam, layaknya pribahasa yang mengatakan “siapa yang menanam, maka ia akan menuai” begitu pula keburukan dan kezailman yang dilakukan, pada akhirnya, kezaliman itu akan berdampak pada pezalim.

Sama halnya dengan  kaum ad, kaum tsamud, dan sebagainya. Mereka adalah kaum-kaum yang besar karena diberikan kemampuan luar biasa oleh Allah swt; sayang mereka juga kaum yang zalim, sehingga Allah menimpakan bala kepada mereka disebabkan kezaliman mereka sendiri.
Mungkin, tidak perlu kita jauh-jauh. kita kembali pada diri masing-masing, apa pun pergerakan kita pasti kita yang akan mendapatkan pengaruh; entah itu pergerakan yang baik ataupun tidak baik. Anda giat olahraga maka anda akan sehat, anda giat bekerja maka anda akan mendapatkan banyak rizki, anda minum minuman keras maka, anda mencuri, membunuh, memperkosa, semuanya akan kembali pada diri anda.

Kejelakan yang kita perbuat akan membuat kita  binasa. Sudah menjadi sunnatullah, ketika kita binasa, maka akan ada generasi pengganti, yang akan menentukan nasib mereka sendiri juga, apakah mengikuti kezaliman kita atau mampu berkaca dari masa lalu suatu kaum, hingga menjauhkan diri dari apa yang membuat kaum masa lalu itu binasa. Atau tetap sama, melakukan kezaliman dengan bentuk rupa yang berbeda, namun beresensi sama; maka tetap, kebinasaan akan dimiliki jua.

Khalik Lebih Menjajikan dari Makhluk

Sumber Foto: www.quran-al-mubeen.com

Dia (Yakub) berkata, “bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?” maka Allah adalah penjaga yang terbaik dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.
(QS. Yusuf (12): 64)

Ayat ini menunjukkan kita kisah keluarga Nabi Yakub as; dimana karena kecemburuan diantara saudara-saudara Yusuf  terhadap Yusuf, Yusuf akhirnya dibuang. Namun, siapa yang mengira, kesalahan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf tersebut, merupakan bagian dari proses kebesaran Nabi Yusuf as.

Singkat cerita, dibuangnya Yusuf malah menjadikan Yusuf tumbuh dengan berbagai pernak-pernik kehiduan yang menjadikannya bagian dari kekuasaan mesir.  Kemampuan yang dimiliki membuat mesir berhasil bertahan dalam kemarau panjang, bahkan warga dari daerah lain berdatangan ke mesir untuk membeli gandum. Kemudian warga tersebut adalah tidak lain keluarga Yusuf, yang dulu membuangnya; dan mereka tidak mengenal Yusuf as.
Yusuf as berkeinginan untuk melihat adiknya, Bunyamin. Karena itu ia meminta kepada kakak-kakaknya, untuk membawa bunyamin pada perjalanan kedua mereka nanti, kalau tidak, mereka tidak akan diperkenankan membeli gandum.

Yakub as yang telah kehilangan Yusuf karena mempercayakannya kepada saudara-saudaranya tersebut, tidak percaya juga kepada mereka. Yakub as tidak ingin kehilangan anak untuk yang kedua kalinya. Karena itu, ayat tersebut menunjukkan kepada kita, bagaimana keterpercayaan kepada makhluk dan keterpercayaan kepada Khalik.

Kepercayaan kepada makhluk kadang membuat terluka dan mengecewakan; itu karena makhluk adalah lemah, bahkan tidak memiliki, berbeda dengan kepercayaan kepada Khalik; Ialah penjaga yang terbaik, Kuat dan Maha Memiliki segalanya.




Rabu, 31 Agustus 2016

Ampunan Bagi Yang Tak Berdosa


Sumber Foto: www.aktual.com

Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang  memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka Ampunan dan Pahala yang besar.
(QS. Al-Ahzab (33): 35)

Dari ayat di atas, dapat kita mengerti bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam hal relasi kepada Tuhan. Semua memiliki derajat dan kesempatan yang sama di sisi Tuhan. Maka tidak ada pengecualian dalam hal relasi dengan Tuhan, sabar bukan Cuma untuk perempuan, memelihara kehormatan bukan Cuma untuk perempuna, bersedekah bukan Cuma untuk laki-laki. Jadi, laki-laki dan perempuan sama saja dalam hal ketaatan kepada Tuhan.

Kalimat terakhir ayat ini menyebutkan bahwa mereka telah disediakan ampunan dan pahala yang besar, ini menjadi tanda tanya, kenapa orang yang sudah menjaga ketaatan, bersedeqah, berpuasa dan lain-lain masih saja disediakan ampunan. Logikanya, hanya orang berdosa kemudian bertaubat yang diberikan ampunan.  Disediakan  pahala baru logis, karena mereka menjalankan ketaataan. Ini kita tahu mereka selalu menjalankan ketaatan,menyebut nama Tuhan, menjaga kehormatan, bagaimana ada celah dosa?

Ini masih menjadi tanda tanya besar, apa makna ampunan di sini, apakah ampunan bukan hanya milik pendosa, ataukah mereka (yang disebutkan ayat) sewaktu-waktu bisa melakukan dosa, tetapi sudah disiapkan ampunan kalau mereka bertaubat? Ini perlu mendapat jawaban.

Memang potensi berbuat dosa dimilki oleh semua orang. Namun, ketika disebutkan bahwa mereka yang bersedekah, taat, khusyuk, benar, darimana mereka berbuat dosa? 

Tuhan Bersama Yang Bertakwa


Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan
(QS. An-Nahl (16): 128)

Sumber Foto: Khazanah. repulika.co.id
Ayat ini menegaskan bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang yang berbuat kebaikan. Kita bertanya-tanya, apakah Allah hanya bersama orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan, bukankah  segala hal terliputi olehNya. Lalu, kenapa dengan orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan, apa kekhususan dari mereka, sehingga Allah bersama mereka. Apakah kebersamaan itu, bersama layaknya kita sebagai manusia. Apa efek dari kebersamaan itu, Allah bersama orang yang bertakwa setelah mereka bertakwa atau sesudah mereka bertakwa. 

Bersama dalam ayat tersebut diartikan sebagai kebersamaan yang spesifik, tidak bisa digeneralisir kepada seluruh makhluk. Karena tidak semua makhluk bertakwa dan berbuat kebaikan; di satu sisi, segala hal memang berjalan atas  kuasa-Nya. Namun, tidak bisa disamakan penguasaan dengan kebersamaan.

Kebersamaannya pun tidak sama dengan kebersamaan makhluk, dimana materi bisa bertemu dengan materi di alam materi; bertatap muka, berdiskusi, bermain dan sebagainya. Namun, kebersamaan Allah dengan orang yang bertakwa adalah, kebersamaan yang terpaut oleh kesadaran mental orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan. Kebersamaan itulah yang menyebabkan mereka terhindar dari perbuatan cela. Efek kebersamaan itu menjaga makhluk dari hal-hal yang dilarang.

Lalu,  untuk bersama dengan Allah, bukankah kita harus bertakwa dan berbuat  kebaikan, mana yang lebih dulu, kita berusaha berbuat kebaikan dan bertakwa dulu baru Allah bersama kita, atau Allah bersama kita baru kita bertakwa dan berbuat kebaikan?  Agak kewalahan rasanya kalau kita menjawabnya dengan pengertian kebersamaan yang umum. Karenanya, sekali lagi makna bersama di sini adalah lebih khusus.


Apa maknanya? Maknanya adalah penjagaan, menjaganya dengan berbagai hal.

Jumat, 12 Agustus 2016

Kau Berbadan Bumi, Maka bagimu Bumi

Sumber Foto: kantinilmu.com

Dan Allah menciptakan mu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Tidak ada seorang perempuan pun yang mengandung dan melahirkan, melainkan dengan sepengetahuanNya. Dan tidak dipanjangkan umur seseorang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam kitab (lauh mahfuz). Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.
 QS. Fathir (35): 11

Ayat ini membawa kita kepada sumber penciptaan manusia. Dua hal yang secara keilmuwan dan sejarah kita ketahui. Dimana Adam, bapaknya manusia diciptakan Allah dari tanah. Lalu, keturunannya yang tercipta dari air mani.

Tidakkah menjadi pertanyaan bagi kita, kenapa Allah harus menggunakan tanah untuk mencipta adam, lalu, keturunannya dengan air mani? Tentu, kalau kita sandarkan kepada Allah, memang hanya Allah yang lebih tahu. Tapi, tidakkah kita ingin tahu? Tidak bolehkan manusia tahu? Bukankah kita diperintahkan untuk tahu?

Kalau kita kembali kepada bagaimana makhluk lainnya diciptakan, malaikat diciptakan dari cahaya, syaithan dari api, penulis lebih condong kepada bagaimana kemudian habitat ataupun tempat hidup dari makhluk-makhluk Tuhan tersebut. Asal penciptaan mereka sesuai dengan tempat dimana mereka menetap.

Adam tercipta dari tanah, dimana ia ditempatkan di bumi yang memang terdapat tanah, terkonstruksi oleh tanah. Artinya ada kesesuaian antara tempat menetap dengan asal atau materi penciptaannya. Begitu  pula dengan makhluk lainnya. Malaikat yang tercipta dari cahaya, sehingga menyebabkan ia berprilaku seperti cahaya.  Begitu pula dengan syaithan,yang tercipta dari api, yang terus membakar dendam, kebencian, memanaskan nafsu, karena ia memang tercipta dari api.

Apa yang penulis sampaikan adalah secuil, reka-rekaan penulis yang bisa salah dan bisa benar, ini hanyalah stimulus untuk kawan-kawan, agar turut ikut berfikir dan mencari pengetahuan yang sebenarnya. Tentu ada banyak hal, tidak sekedar karena sesuai habitat. Karena itu, mari berfikir dan jangan mudah menyalahkan.
To be continued



Kamis, 11 Agustus 2016

Kapan Seorang Istri Bertabir?

Sumber Foto: dedywahyusaputra.blogspot.com


Tidak ada dosa atas istri-istri nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara perempuan mereka, perempuan-perempuan mereka (yang beriman) dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (istri-istri nabi) kepada Allah. Sungguh Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.
(QS. Al-Ahzab (33): 55)

 Ayat ini kaitannya dengan isti-istri nabi, bagaimana kita bersikap kepada istri nabi. Bahwa menemuinya harus dengan tabir. Itu yang bisa dipahami, sementara orang-orang yang boleh bertemu dengannya tanpa menggunakan tabir adalah orang-orang yang tergolong keluarga.

Namun, perlu kita pahami lebih mendalam, apa makna dari bertemu di sini, apakah bertemu di dalam rumahnya atau berada di luar rumahnya? Rumah adalah tempat privasi dari istri-istri nabi, tentunya tidak baik jika bertemu dengannya di dalam rumah. Karena itu kemudian, bertemu dengannnya menggunakan tabir adalah saat ada di rumahnya. Ketika istri nabi berada di luar tentu tidak logis kita menggunakan tabir. Karena itu, ayat ini kaitannya dengan bagaimana kita bersikap saat berada di rumah istri nabi.

Pertanyaannya, apakah ayat tersebut sekedar kisah atau tata cara untuk istri nabi saja, cukup untuk istri nabi saja? Alangkah tidak bermaknanya ayat tersebut kalau seperti itu, mengingat istri  nabi sudah meninggal. karenanya ayat tersebut juga berlaku untuk istri-istri hingga akhir zaman, ketika ditemui oleh orang yang bukan dari golongan keluarga, hendaknya menggunakan tabir. Ini sebagai bentuk dari memuliakan perempuan, serta mempersempit pengaruh dari godaan syaithan, yang senantiasa menggoda manusia kepada keburukan.

Rabu, 10 Agustus 2016

Hikmah Di Balik Berita Bohong

Sumber Foto: beritadunia.net


Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula).
(QS. An-Nur (24): 11)

Salah satu Penafsir, yaitu Ath-Tabari menyebutkan bahwa ayat ini kaitannya dengan berita bohong yang berkenaan dengan Aisyah r. a .  awal saya mengira, khitab ayat ini untuk Aisyah r.a. tetapi karena ayat ini menunjukkan kepada “Lakum”, maka ia dikhitabkan kepada kita. 

Menariknya bahwa, disebutkan berita buruk yang beredar janganlah dikira buruk bagi kita, tetapi itu baik bagi kita. apa maksudnya? Secara logika, berita yang bohong tentu berita yang tidak layak untuk dikonsumsi, karena bisa jadi menyebabkan kita  ikut dalam kebohongan.  Juga, bisa membuat kita mengeluarkan berbagai ekspresi buruk sebagai tanggapan dari berita tersebut.

Tetapi ini tidak, malahan berita itu baik bagi kita. di manakah letak kebaikan dari berita bohong? Itulah yang perlu kita kaji. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana sebuah berita disebut berita bohong? Jawaban sederhananya adalah ketika sebuah berita tidak sesuai dengan fakta yang ada. Dalam hal yang digariskan Ath-Thabari mengenai ayat ini yang berkaitan dengan Aisyah r.a. 

Ketika ada berita buruk mengenai Aisyah r.a. tentu tidak bisa serta-merta kita percayai sebagai sebuah berita yang benar, mengingat ia adalah istri rasulullah saw, tentu kapabilitas dan keterjagaan akhlaknya berbeda dengan kita pada umumnya. Tentu, tidak cukup kita menyandarkan kebaikan, keindahan, keelokan akhlak seseorang kepada orang lain, atau orang yang berada di sisinya, tentu ada hal lain yang perlu dilihat, terutama diri pribadi orang tersebut.

Ini menunjukkan ketika ada berita, kita sebagai audiens harus bisa mengambil sikap bagaimana melihat berita tersebut, harus mencari kebenaran yang sebenarnya sebelum memberikan label apakah berita tersebut benar atau tidak.

Nah, proses yang kita lakukan memverifikasi berita tersebut merupakan pergerakan yang baik . itu salah satu hikmah di balik berita bohong. Kemudian, tindak lanjut dari berita tersebut, jika terbukti berita bohong, maka kita akan menyadari bahwa yang terberitakan di dalam berita butuh bantuan, karena ia sedang dalam keadaan diganggu. Hal ini kemudian, membuat kita tergugah untuk memberikan bantuan sesuai dengan apa yang kita bisa. Kita tahu, bahwa memberikan pertolongan adalah hal yang baik, ini juga bisa menjadi hikmah di balik berita bohong.


Minggu, 07 Agustus 2016

Pendusta adalah Yang Menyebut Allah Beranak

Sumber Foto: aneuknanggroe007.blogspot.com

Ingatlah, sesunguhnya di antara kebohongannya  mereka benar-benar mengatakan. “Allah mempunyai anak” dan sungguh, mereka benar-benar pendusta .
(QS: Asshafat (37): 151-152)

Ayat-ayat tersebut menunjukkan kepada kita, bahwa Allah tidak mempunyai anak. Bagaimana mungkin Allah mempunyai anak? Apa jadinya kalau Allah mempunyai anak? Kalau Allah punya anak, tentu, ia punya istri juga. Itu berarti Allah sama saja dengan manusia, atau makhluknya.

Karena itu kemudian, orang –orang yang mengatakan Allah mempunyai anak, adalah benar-benar pedusta. Mereka sama saja menjadikan Allah menjadi manusia. Jika Tuhan  sama dengan makhluknya, bagaimana ia bisa menjadi  Tuhan. Segala konsekuensi yang dialami oleh makhluknya dialami juga, itu bukanlah Tuhan.

Siapa sih yang ingin bertuhan kepada tuhan yang sama dengan makhluknya? Di dalam memilih pemimpin saja, anda mau memilih orang yang lebih dari diri anda; baik secara kapabilitas maupun hal-hal lainnya. Siapapun itu, semua pemimpin pasti ada lebihnya dari diri anda. Minimal, ia lebih kaya dari diri anda, sehingga anda mau berada di bawah kuasa pemimpin anda.


Nah, apalagi yang kita  jadikan Tuhan.Tentu, Tuhan Yang Maha Atas Segala-Nya,  Dialah Allah SWT. itu kemudian yang harus kita pegang dengan erat; bahwa Allah swt tidak  beranak dan tidak pula diperanakkan. 

Jumat, 05 Agustus 2016

Games Pembuat Lupa Akhirat Itu Bernama “Dunia”

Sumber Foto: www.eramuslim.com

Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya. Sekiranya mereka mengetahui.
(QS. Ar-Rum (30): 64)

Sesekali mungkin terbersit dalam pikiran kita, kenapa Tuhan menempatkan kita di dunia? Ada apa dengan dunia, kenapa kita mesti berada di dalamnya?  Kenapa Tuhan tidak langsung saja menempatkan kita di surga?  Toh, kehidupan sesungguhnya  adalah akhirat.

Satu hal yang mesti dipegang, bahwa segala hal yang menyenangkan, indah, istimewa,  kekal, didapatkan dari beberapa kali mengeliminasi kesenangan dan keindahan. Artinya, “kesenangan haqiqi, keindahan haqiqi, kekekalan, didapatkan dari beberapa proses menjauhkan diri dari segala kesenangan-kesenangan palsu.”  Mungkin kata-kata ini terlalu berlebihan, tetapi ada benarnya juga.

Kamis, 04 Agustus 2016

Di bawah Kendali Tuhan adalah Rahmat

Sumber Foto: ceriwis.net


Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah musa di dalam kitab (al-Qur’an). Dia benar-benar orang yang terpilih, seorang nabi dan rasul. Dan kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung (Sinai )dan kami dekatkan dia untuk bercakap-cakap. Dan kami telah menganugerahkan sebagian rahmat kami kepadanya, yaitu (bahwa) saudaranya, Harun, menjadi seorang nabi.
(QS. Maryam (19):51-53)

Dari ayat-ayat di atas, ada beberapa hal yang dapat kita ambil sebagai sebagai pelajaran. Nabi dan rasul bukanlah sosok manusia pada umumnya. Kalau kita untuk mendapatkan kursi seorang pemimpin saja misalnya, kita harus mendaftarkan diri kita, berkampanye, mengikuti segala proses, baru kita bisa menjadi pemimpin.

Berbeda dengan seorang nabi dan rasul, mereka tidak perlu mendaftarkan diri untuk menjadi seorang nabi dan rasul, karena semuanya adalah pilihan Allah. Allah lah yang langsung memberikan mandat tersebut. Karena mereka adalah pilihan Allah, konsekuensi logisnya mereka adalah orang-orang yang benar-benar berada dalam lindungan Allah, orang yang diberikan anugerah oleh Allah swt.  orang-orang terbaik.

Rabu, 03 Agustus 2016

“Tha Siin Mim”


Sumber Foto: www.rumahquranalkaiyis.com

Tha siin mim
(QS. Asyuara (26): 1)

Ayat inilah, ayat-ayat yang termasuk membingungkan semua orang. Pasalnya, tidak banyak orang yang mengetahui maknanya. Di dalam tafsira-tafsiran para mufassir, terutama mufassir ahlusunnah, ayat-ayat ini tidak ditafsirkan, mereka sering mengungkapkan “hanya Allah yang tahu maknanya”.

Iya, ayat-ayat ini memang telah membingungkan semua pihak, ayat ini kita kenal dengan huruf muqathaah, atau disebut juga dengan “the mysterious letter”. Iya, ayat-ayat ini memang sangat misterius.

Meski begitu, beberapa ulama dan riwayat juga mencoba menjelaskan prihal ayat ini. Ada yang mengkait-kaitkannya dengan sifat Tuhan, Nabi,  ada juga yang mengkaitkannya dengan para sahabat, dan lain-lain. Kebanyakannya yang berani menafsirkan ayat-ayat yang seperti ini adalah mufassir-mufassir sufi. Terutama dari kalangan mufassir syiah.

Bagi yang beranggapan bahwa segala apa yang ada dalam al-Qur’an memiliki makna yang harus dipahami, maka huruf muqathaah tentu memiliki makna yang harus dipahami manusia. Mereka beranggapan bahwa al-Quran adalah petunjuk, sebagai petunjuk tentu ia harus bisa dimengerti.

Ada benarnya juga, tetapi kalau bagi saya tentu, menemukan makna dari huruf muqathaah ini tentu jauh sekali. Namun, huruf muqathaah ini nyata telah mengusikku, karena banyak tafsiran mufassir dan para peneliti al-Qur’an yang seperti mereduksi kemuliaan al-Qur’an dan nabi.

Karena itu, rencananya skripsiku akan meneliti mengenai huruf muqathaah ini.

Ada banyak hal yang mesti ditelusuri dari huruf muqathaah ini, akan ada banyak hal yang akan kita dapatkan. Karena ia misterius, tentu ia adalah sesuatu yang spesial.

Selasa, 02 Agustus 2016

Urusanmu menyampaikan bukan memaksakan

Sumber Foto: www.hipwee.com
Sungguh, kami menurunkan kepadamu kitab (al-Qur’an) dengan membawa kebenaran untuk manusia; barangsiapa mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa sesat maka sesungguhnya kesesatan itu untuk dirinya sendiri, dan engkau bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka. (QS. Az-Zumar (39): 41)

Dari ayat di atas kita tahu bahwa, dan memang kita sudah bersentuhan dengan apa yang telah diturunkan Allah swt kepada nabinya. Realitas al-Qur’an telah kita lihat nyata. Ayat-ayatnya sendiri membenarkan bahwa al-Qur’an  mengandung kebenaran , petunjuk, pedoman bagi umat manusia.

Al-Qur’an memang diturunkan kepada Muhammad saw, tetapi kebenaran, pedoman, petunjuk, yang dikandungnya, untuk disampaikan oleh nabi Muhammad saw. Dalam perjalanan penyampaian itu, tentu ada yang menerima dan ada yang menolak. Orang yang menerima berarti orang yang mendapatkan petunjuk dari al-Qur’an, sementara yang menolak maka ia adalah orang yang tersesat.

Tugas nabi menyampaikan, urusan menerima tidak menerima bukan urusan nabi. Semua akan dipertanggungjawabkan sendiri. Sekilas dan gamblang ayat tersebut bermakna seperti itu.

hal ini seharusnya menjadi contoh kita di dalam berdakwah ataupun menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Jika memang kita merasa apa yang akan kita sampaikan ini benar, maka sampaikanlah. Tapi ingat, jangan memaksakan kepada orang untuk menerima apa yang anda sampaikan. Atau bahkan jangan sampai mengambil jalan lain agar orang menerima, anda melakukan kekerasan.

Kalau sampai anda membawa kekerasan, maka anda termasuk orang yang melanggar batas dan ketentuan yang telah digariskan. Kenapa anda tidak perlu memaksakan, karena semunya akan kembali kepada diri mereka, bukan kepada diri anda.  Kecuali apa yang anda sampaikan bukanlah kebenaran, maka pertanggungjawaban juga ada pada diri anda.  Mari kita tanamkan hal ini di dalam menyampaikan kebenaran, “sampaikan bukan paksakan”.




Senin, 01 Agustus 2016

Dua Hal dari Kisah Ibrahim as

Sumber Foto: nsqjuara.com


“Kekerasan” bentuk lahiriah akal yang terjerat Nafsu dan Membela Tuhan sama saja menjadikan-Nya berhala.

Maka dia (Ibrahim) menghancurkan (berhala-berhala itu) berkeping-keping, kecuali yang terbesar (induknya); agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata, “siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh, dia termasuk orang zalim. Mereka (yang lain) berkata, “kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini) namanya Ibrahim. Mereka berkata, “(kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak, agar mereka menyaksikan.” Mereka bertanya, “apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?”. Dia (Ibrahim) menjawab, “sebenarnya (patung) itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” Maka mereka kembali kepada kesadaran mereka dan berkata, sesungguhnya kamulah yang menzalimi (diri sendiri).” Kemudia mereka menundukkan kepala (lalu berkata) “engkau ( Ibrahim ) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara. Dia (Ibrahim) berkata, “mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat” (QS. al-anbiya (21): 58-68)

Ayat-ayat ini menunjukkan kepada kita bagaimana nabi Ibrahim as menyadarkan kaumnya dengan cara yang brilian. Namun, kita juga melihat, bagaimana orang-orang yang sudah tersadarkan secara akalnya, tetapi masih dikuasai nafsu merespon kesalahan mereka.

Ibrahim as ingin menyadarkan kaumnya atas apa yang selama ini mereka sembah, benda yang tak bisa memberikan manfaat, benda mati yang tak bisa bergerak, tuhan-tuhan yang harus dibela dan dijaga oleh hamba-hamba mereka sendiri. Bagaimana bisa mereka disebut dengan “Tuhan”, jika ia dibuat oleh hambanya sendiri.

Bagi kita, manusia yang hidup di zaman modern,  tentu, tingkah kaum Nabi Ibrahim yang menyembah benda mati sangat tidak masuk akal, akal mereka tidak difungsikan kah? Kita bisa berkata begitu, tapi ini nyata terjadi di zaman nabi Ibrahim.  Bisa jadi akal mereka tertutup karena ketakutan mereka terhadap sosok Raja yang siap menghukum mereka jika berbeda keyakinan. Ataukah memang iya, akal mereka tidak difungsikan.

Karena itu kemudian, Ibrahim as menggunakan trik brilian, ia menghancurkan berhala-berhala mereka, dengan menyisakan berhala besar. Ibrahim ingin menjebak mereka. Benar sekali, melihat semua sesembahan mereka hancur berantakan, yang tersisa hanyalah berhala besar. Mereka memanggil Ibrahim as, karena hanya Ibrahim as, sosok masyarakat yang sangat tidak suka dengan sesembahan mereka.

Minggu, 31 Juli 2016

Perbedaan Bahasa Kitab adalah Kebijaksanaan Tuhan



Sumber Foto: www.alkhoirot.com

Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata, “sesungguhnya al-Qur’an itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). “ Bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar)kepadanya adalah  bahasa ‘ajam, padahal ini (al-Qur’an) adalah dalam bahasa Arab  yang jelas. (An- nahl ayat 103)

Ayat ini merupakan satu di antara beberapa ayat yang sama-sama berbicara mengenai al-Qur’an. Ayat ini digunakan sebagai counter-attack pendapat orang-orang yang meragukan keaslian  bahasa al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui, bahwa al-Qur’an menuturkan dalam ayatnya, bahwa al-Qur’an menggunakan bahasa Arab yang jelas.

Sekalipun begitu, para peneliti al-Qur’an menyebutkan ternyata al-Qur’an terdiri dari banyak bahasa, itu disebabkan karena ditemukan kata-kata dalam al-Qur’an yang sama dengan kata di luar bahasa arab. Sehingga benarlah kemudian, ayat tersebut menyebutkan bahwa Tuduhan orang-orang yang menyatakan, al-Qur’an yang dibawa oleh rRsulullah saw ini diajarkan oleh manusia biasa, bukan diajarkan Tuhan. Bisa jadi karena melihat bahasanya ada bahasa dari luar arab.

Namun, ada sebuah teori dalam bahasa, ketika kita mengadopsi bahasa asing, atau menjadikan kata-kata dalam bahasa asing sebagai bagian dari bahasa kita; dalam hal ini kita kenal dengan Arabisasi. Artinya menjadikan kata asing menjadi kata arab.

Jumat, 29 Juli 2016

Selamat Jalan Ustadz Tafa`ul

Siapa yang tidak mengenal ustadz yang satu ini? Pengalaman bersamanya tertancap dalam hati setiap santri muallimin, termasuk aku. Sikap dan tingkahnya selalu akan kami kenang, apapun yang telah dilakukan pada kami, itu merupakan kasih sayang yang berharga.

Seruan lantangnya masih terdengar, gertakannya kepada kami santri yang nakal. Ah, selalu ingin tertawa mengenangnya. Namun, begitulah hidup. Pada akhirnya, semua akan kembali kepada-Nya, Sang Maha Pemilik, Penggenggam segala urusan.

Kini, hanya kisah-kisah manis bersamamu yang akan kami kenang dan ceritakan. Selamat jalan Ustadz. Terima kasih atas segala ilmu yang telah engkau berikan, Insha Allah, balasan dari-Nya akan segera Ustadz dapatkan.


Engkau guru kami, tak ada kata “mantan guru”, yang ada guru, guru, guru, dan guru; selamanya tetaplah guru. 

Sabtu, 23 Juli 2016

“Anak Tadi Pagi”

Sumber Foto: www.huntnews.id

“Anak Tadi Pagi”, sebuah istilah yang tak sengaja tercipta saat meladeni komentar teman facebook. Sebut saja Bang Imin, dengan akun Facebook Abdul Muhaimin. Ia mengomentari catatan harian berupa penggalan sejarah kami , yang aku post di Page “Sarma Saleem”.

Ia berkomentar, bahwa ia hanyalah “Anak Kemarin Sore”.  Ada beberapa makna yang muncul dari istilah yang dilontarkan Bang Imin itu. “Anak Kemarin Sore”. Pertama, ia adalah seorang yang tawaduk, dengan menyembunyikan pengetahuan ataupun wawasannya di balik isitlah anak kemarin sore, karna “anak kemarin sore” bisa jadi dimaknakan orang yang tidak banyak memiliki pengetahuan dan pengalaman, sehingga baginya tidak pantas untuk mengkritik sesuatu atau merekomendasikan sesuatu.

Bukan tanpa alasan “anak kemarin sore”, “anak” sebutan bagi manusia yang memiliki umur baru beberapa tahun. Mereka masih harus mendapatkan berbagai arahan dan bimbingan untuk tumbuh menjadi lebih baik. Sudah menjadi anak, baru kemarin lagi, artinya, benar-benar membuatnya menjadi manusia yang belum memiliki pengalaman atau pun pengetahuan. Sehingga bagikunya ia seakan tidak memiliki kapabillitas atau pun otoritas untuk ambil bagian dalam suatu hal yang sering dilakukan oleh yang bukan “Anak Kemarin Sore”.

Melihat komentar Bang Imin tersebut, aku malah membuat istilah tandingan yang menyatakan hal yang lebih miris dari “Anak Kemarin Sore”, yaitu “Anak Tadi Pagi” sebuah istilah yang lebih menunjukkan, betapa pengetahuan dan pengalaman yang aku miliki jauh lebih tidak ada.

Itu kalau kita melihat dari sisi umur. Tetapi, tentu berbeda kalau kita melihat dari sisi ketermanfaatan umur. Berapa banyak orang yang hidup dengan umur yang sudah tua, tetapi tak sebanding dengan apa yang mereka ketahui. Begitu juga, berapa banyak orang yang hidup dengan umur yang sedikit tetapi pengetahuan mereka jauh melampaui umur mereka.

“Orang tua yang tak berilmu itu kecil, sebaliknya anak kecil yang berilmu itu tua.”

Hal, yang ingin saya bubuhkan, bahwa jangan jadikan alasan umur yang sedikit, membuat kita takut untuk menyatakan hal yang memang sudah kita akselerasi dengan ketermanfaatan umur. Kadang “Anak Tadi Pagi” maupun “Anak Kemarin Sore” harus sedikit berani beraksi, agar mendapat perbaikan “Bapak Tua”


Wassalam